Jumat, 14 Desember 2012

MADRASAH TINGKAT TINGGI, UNIVERSITAS AL AZHAR MESIR



MADRASAH TINGKAT TINGGI
UNIVERSITAS AL AZHAR, MESIR

PENDAHULUAN
Berbicara al-Azhar, pandangan kita tertuju pada sebuah lembaga pendidikan Islam tertua yang hingga saat ini masih menjadi rujukan masyarakat untuk menimba ilmu-ilmu keislaman secara khusus dan ilmu-ilmu umum secara global. Sebagai institusi pendidikan, al-Azhar memiliki banyak peran penting mencetak dan mengantarkan alumni-alumninya menjadi orang-orang penting dalam berbagai bidang kehidupan.
Awal didirikannya pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir[1]. Al-Azhar adalah bangunan masjid yang tidak berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya yang sudah ada pada saat itu. Namun, al-Azhar selain sebagai tempat ibadah juga digunakan untuk menanamkan faham Syi’ah Ismailiyah. Dengan mazhab Syi’ah yang dikembangkan inilah masjid al-Azhar menjadi pencetak dan penguat Dinasti Fatimiyah. Pada masa ini masjid menjadi tempat berkumpulnya ulama Fikih khususnya ulama Syi’ah Ismailiyah juga para wazir dan hakim. Hingga kemudian madzhhab Syi’ah ini berubah pada dinasti Ayyubiyah yang berfaham sunni.
Bagaimana pergeseran fungsi masjid menjadi sarana menanamkan faham syiah Ismailiyah hingga kemudian berganti ke faham sunni, serta jatuh bangunnya lembaga ini hingga mampu bertahan dan menjadi rujukan para pencari ilmu, perlu dikaji untuk melihat, mempelajari dan mengambil aspek-aspek penting yang dapat digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini.
Oleh karena cakupan pembahasan al-Azhar begitu luas maka dalam makalah ini penulis hanya membatasi kajian pada beberapa hal berikut. Pertama, Sejarah singkat berdirinya al-Azhar. Kedua, perkembangan al-Azhar dari Masjid menjadi Universitas. Dan Ketiga, al-Azhar di zaman modern.
PEMBAHASAN
[1]   Sekilas tentang berdirinya al-Azhar
Al-Azhar, perguruan tinggi Islam yang menjadi bukti monumental peradaban Islam di Mesir pada awalnya adalah bangunan masjid yang tidak berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya yang ada pada saat itu. Masjid al-Azhar dibangun oleh panglima Jauhar al-Shiqily pada 972 M di bawah arahan Khalifah al-Muizz.
هو مسجد وجامعة في القاهرة في مصر، بناه جوهر الكاتب الصقلي (إلياس الصقلي) قائد جند أبي تميم معد بعد عام من فتح الفاطميين لمصر، وبعد أن أنشأوا قاعدة ملكهم الجديدة مباشرة (القاهرة جمادى الأولى عام 259 رمضان 361). وفتح للصلاة في شهر رمضان عام 361هـ (حزيران - تموز سنة 972)[2]
Al Azhar adalah masjid dan Universitas di Kairo Mesir, dibangun oleh panglima Jauhar al Katib al-Shiqily (Ilyas al-Shiqily) setahun setelah penaklukan Dinasti Fathimiyah terhadap Mesir, dan langsung setelah pendirian pangkalan kerajaan yang baru (Kairo, Jumadil Ula tahun 259 Ramadhan 361). Dan dibuka untuk shalat pada bulan Ramadhan tahun 361 H, Huzairan – Tamuz tahun 972)

Selain itu atas perintah Al-Muiz, Jauhar Al-Shiqili mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan. Tujuan pendirian ibu kota itu adalah untuk menampung keperluan administrasi pemerintah dan tentara Berber. Kota Kairo pada masa-masa selanjutnya dijadikan sebagai ibu kota Khilafah Fatimiyah. Dari al-Qohirah inilah atas instruksi Al-Muiz, Jawhar al-Shiqili membangun masjid yang didedikasikan untuk penyebaran kebudayaan, ajaran, dan pemikiran Syiah. Masjid tersebut diberi nama al-Azhar yang pada masa-masa berikutnya berubah menjadi universitas dan didaulat sebagai universitas Islam tertua di dunia.
Masjid al-Azhar ini dibangun pada tahun 361 H/972 M. Masjid ini merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir, setelah masjid ‘Amr ibn ‘Ash, masjid ‘Askar, dan masjid Ahmad ibn Thulun.[3] Hal ini merupakan usaha Dinasti Fatimiyah untuk menyebarkan faham Syi’ah. Beberapa tahun kemudian tepatnya pada 365 H / 976 M. mulai dibuka kegiatan belajar-mengajar dan majelis ilmu pengetahuan bermadzhab Syi’ah Ismailiyah. Pada masa itu duduk sebagai pengajar Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi, ia mengajarkan sebuah kitab al-Iqtishar karya ayahnya sendiri. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqhiyah yang berpegang kepada iman Ahlu al-Bait. Ini merupakan kelompok studi pertama di Jami’ al-Azhar. Selain Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi, saudara kandungnya yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Nu’man pada tahun 385 H turut pula membantu mengajarkan ilmu-ilmu Ahlu al-Bait.
Selain tentang ke-Fatimiyah-an pada perkembangan selanjutnya juga dipelajari ilmu-ilmu Naqliyah atau Syar’iyyah dan Aqliyah atau Hukumiyah, kadang disebut juga dengan ilmu ‘Ajam. Adapun yang termasuk ilmu naqliyah antara lain : Fikih, Hadis, Tafsir, Nahwu, Lughah, Al-Bayan, Adab, Ilmu Tafsir, Ilmu Qiro’at, Ilmu Hadis, dan Ilmu Kalam. Sedangkan yang termasuk ilmu aqliyah adalah: Filsafat, Arsitektur, Ilmu Nujum, Musik, Kedokteran, Syair, Kimia, Matematika, Sejarah, dan Geografi.
Pada awal berdirinya Jami’ al-Azhar dinamai dengan Jami’ al-Qahirah (Jami’ Kairo) sesuai dengan nama kota tempat ia berdiri. Pemakaian nama ini dapat dibuktikan secara sejarah, dimana sebagian besar pakar sejarah Mesir menyebut Jami’ ini dengan Jami’ al-Qahirah, hanya sedikit saja dari meraka yang tidak menyebutnya demikian. Sedangkan al-Maqrizi, sejarawan muslim Mesir terbesar, kadang menggunakan nama Jami’ al- Qahirah dan terkadang juga menggunakan nama Jami’ al-Azhar. Kesimpulannya adalah bahwa pada pertengahan abad 9 H. sampai pertengahan abad 15 H. pemakaian dua nama ini menjadi sesuatu yang masih kontroversial, namun kemudian nama lama (Jami’ al-Qahirah) berlangsung memudar dan nama baru (Jami’ al-Azhar) lebih banyak dipakai sampai saat ini.[4]
Selain perbedaan nama awal tersebut, sejarawan juga berbeda pendapat tentang sumber pengambilan kata al-Azhar. Pendapat pertama mengatakan bahwa kata al-Azhar merupakan musytaq (pecahan) dari kata al-Zahra, gelar Sayidah Fathimah, putri Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib, apalagi Dinasti Fathimiyah sendiri dinisbatkan kepada Sayyidah Fathimah al-Zahra. Sebagian kelompok sejarawan lainnya ada yang berpendapat bahwa pengambilan nama al-Azhar berkaitan dengan fenomena sosio-kultural yang berhubungan dengan skema kota Kairo sendiri dahulunya. Diriwayatkan bahwa di masa khalifah al-Aziz Billah dimulailah pendirian istana-istana Bani Fathimiyah yang berdiri sangat megah dan indah-indah sehingga waktu itu istana-istana tersebut dinamai al-Qushur al-Zahirah (istana-istana yang bersinar cemerlang). Kelompok ketiga berpendapat bahwa pemakaian nama al-Azhar adalah sebuah rasa harap dan optimis terhadap sesuatu yang akan dicapai masjid ini nantinya karena berkembangnya ilmu-ilmu di sana dan ia akan tetap menjadi pusat pengembangan dakwah syi’ah sepanjang masa kelak.[5]
Namun, bila melihat situs resmi al-Azhar sendiri akan didapati bahwa penamaan al-Azhar adalah diambil dari kata al-Zahra, gelar Sayidah Fathimah, putri Rasul saw. Dalam situs yang menceritakan tentang sejarah pendirian itu dijelaskan;
وإنشاء الفاطميين لهذا المسجد يفسّر الاسم الذي أطلق عليه، فقد قيل إنّ الأزهر إشارة إلى السيدة الزهراء وهو لقب فاطمة بنت الرسول محمد (صلى الله عليه و سلم) التي سميّت باسمها أيضاً مقصورة في المسجد (المقريزي، ج2، ص275، س16). وقد زاد المستنصر والحافظ في بناء المسجد شيئاً قليلاً.[6]
Dan pembangunan Dinasti Fathimiyah terhadap masjid ini menjelaskan nama yang diberikan kepadanya (masjid al-Azhar), dan dikatakan bahwa sesungguhnya penamaan al-Azhar merupakan merujuk kepada nama al-Sayyidah al-Zahra, julukan Fathimah puteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dinamai dengan namanya juga terbatas pada masjid (al Maqrizy, jilid 2, hal 275, baris 16). Kemudian al-Mushtanshir dan al-Hafidz menambahkan sedikit terhadap bangunan masjid.

Menurut penulis, pendapat terakhir ini lebih dapat diterima. Karena memang umumnya penamaan masjid bukan hanya atas dasar ibadah karena Allah Swt, akan tetapi juga mempunyi nilai politis, untuk mengenang nama pendirinya. Apalagi bila dilihat dari sejarahnya, bahwa masjid itu didirikan pada masa Dinasti Fatimiyah, dan pendirian masjid pada masa itu awalnya bertujuan untuk menyebarkanluaskan paham-paham keagamaan tertentu --yaitu Syi’ah Isma’iliyah--, kemudian dijadikan pusat kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Pada perjalanan sejarahnya al-Azhar telah menduduki posisi untuk membangkitkan kehidupan peradaban Mesir terutama yang berkaitan dengan dakwah Fatimiyah sejak masa Khalifah al-Aziz Billah. Pada masa itu umat manusia mulai bangkit semangatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu munadzarah dan mengkaji Fikih Syi’ah. Jami al-Azhar saat itu telah menjadi pusat ilmu pengetahuan dengan membawa misi menyebarluaskan dakwah Fatimiyah sampai dibangunnya Jami al-Hakim bi Amirillah. Sistem halaqah-halaqah yang ada merupakan dasar studi di al-Azhar.
Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa Dinasti Fatimiyah selain membangun masjid al-Azhar antara lain:
1.      Pada masa Khalifah Al-Hakim mendirikan sebuah lembaga riset yang dikenal dengan nama Dar al-Hikmah (The House Of Wisdom). Lembaga tersebut didesain sedemikian rupa untuk memberikan konstribusi terhadap kemajuan penelitian ilmiah, terutama di bidang Astronomi, Matematika, dan Kedokteran.
Salah seorang astronom Arab terkemuka yang berasal dari lembaga ini adalah Aly Bin Yunus. Dia melakukan penelitian di Dar al-Hikmah lebih dari 17 tahun. Sarjana Dar al-Hikmah terkenal lainnya adalah Ibn al-Haitham. Penelitiannya di bidang Teknik, Matematika, dan Fisika mengilhami para ilmuwan Barat, seperti Roger Bacon, Kepler, dan Leornado di bidang optik.
Di bidang seni bangunan, pada masa Fatimiyah, Kota Kairo dipenuhi dengan bangunan yang memiliki gaya arsitektur yang tinggi. Jenis keramik lustreware tersebar luas selama periode Fatimiyah. Kaca dan logam juga populer saat itu. Masjid dan istana dihiasi dengan marmer dan granit. Pilar, ukiran, dan patung yang bercorak Islam banyak digunakan. Panel dekoratif dan lampu kandil dilapisi dengan batu pualam putih dalam berbagai lapisan warna. Tekstil dan bordir dari Kairo juga mampu menarik minat dunia, terutama para pedagang dari Eropa. Jejak seni arsitektur Fatimiyah yang sampai saat ini masih bisa dilacak adalah bangunan Masjid al-Azhar dan Masjid al-Hakim serta kawasan Khan al-Khalili.
Di bawah Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kerajaan yang kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Sisilia, Palestina, Lebanon, Suriah, Laut Merah Afrika, Yaman, dan wilayah Hijaz. Mesir terus berkembang dan Fatimiyah memperluas jaringan perdagangan di Mediterania dan Samudra Hindia. Perdagangan dan hubungan diplomatik telah diperpanjang sampai dengan Dinasti Song, Cina, yang pada akhirnya menentukan arah ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan.
Kemajuan yang berhasil dicapai Dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari prestasi dan ditunjang laju pertumbuhan di sektor-sektor terpenting, di antaranya militer yang kuat, administrasi pemerintahannya yang baik, ilmu pengetahuan yang berkembang, dan ekonominya yang stabil.
2.      Dinasti Fatimiyah jatuh ke tangan Shalah al-Din al-Ayyubi.
Setelah Dinasti Fatimiyah jatuh ke tangan Shalah al-Din al-Ayyubi pada tahun 567 H (1171 M), maka ia mengambil kebijakan baru dengan menutup seluruh aktifitas di al-Azhar secara total bahkan dilarang digunakan untuk kegiatan apapun selama kurang lebih satu abad lamanya. Hal itu dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh Syiah yang lama dikembangkan pada masa penguasaan Dinasti Fatimiyah.
وتغيّر الحال في عهد الأيوبيين، فمنع صلاح الدين الخطبة من الجامع وقطع عنه كثيراً مما أوقفه عليه الحاكم. وانقضى نحو قرن من الزمان قبل أن يستعيد الجامع الأزهر عطف الولاة ووجوه البلاد عليه، ولما جاء الملك الظاهر بيبرس زاد في بنائه وشجّع التعليم فيه وأعاد الخطبة إليه في عام 665هـ = 1266-1267م[7]
Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa Shalah al-Din  al-Ayyubi antara lain:
a)      Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar selama hampir seratus tahun, yaitu sejak tahun 567 H (1171 M) sampai masa Sultan al-Mamluki ad-Dhahir pada tahun 665 H (1266 M).
b)      Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar oleh Amir Edmir dan Sultan Berbes atau Sultan al-Dzohir Berbes.
c)      Al-Azhar menjadi pusat studi Islam yang amat penting, terutama ketika Kairo menjadi kiblat bagi para ulama, fuqaha, dan mahasiswa.
Perkembangan al-Azhar mencapai puncaknya ketika Baghdad sebagai pusat keilmuan di timur diporak-porandakan bangsa Mongol. Ditambah lagi jatuhnya Andalus ke tangan Franj yang beragama Kristen yang menghapuskan peradaban Islam di sana. Hal tersebut mengakibatkan para ulama dan penuntut ilmu mengalihkan kiblat rujukannya pada al-Azhar di Mesir yang pada waktu itu termasuk daerah Islam yang aman. Dengan berkumpulnya para ulama dan penuntut ilmu dari berbagai daerah khususnya Baghdad dan Andalus menjadikan al-Azhar sebagai pusat keilmuan yang berkembang besar hingga saat ini.
[2]   Al-Azhar dari Masjid menjadi Universitas
Sudah menjadi suatu kaidah tak tertulis bahwa peradaban islam di suatu daerah selalu dikaitkan dengan peran masjid jami’ (masjid negara) dikawasan tersebut. Hal ini mungkin diilhami dari kerja nyata Rasulullah Saw. ketika hijrah ke Madinah. Tugas pertama yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi. Ini menandakan peran masjid yang tidak hanya terbatas pada kegiatan rituan semata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah sentral pemerintahan islam, sarana pendidikan, mahkamah, tempat mengeluarkan fatwa, dan sebagainya.
Menurut Syalabi, berbeda dengan kuttab[8], masjid sejak masa-masa permulaan Islam sudah mempunyai fungsi yang banyak, yaitu tempat: beribadah, memberi pelajaran, untuk pengadilan, tentara berkumpul dan tempat menerima duta dari luar negeri.[9] Fungsi masjid sebagai tempat shalat Jum’at, maka khutbah Jum’at itu sendiri sebenarnya sudah memberikan pendidikan kepada masyarakat umum.
Namun, meskipun masjid mempunyai fungsi pendidikan, tidak semua masjid di Mesir sempat berkembang sebagai tempat pemberikan pendidikan, terkecuali beberapa masjid yang pernah berfungsi sebagai tempat pemberian pelajaran seperti Masjid Jami’ Amru ibn al-‘Ash, Jami’ al-‘Askar, Jami’ ibn Tulun, Jami’ al-Azhar, Jami’ al-Hakim, Jami’ Rasyidah.[10]
Pada masa-masa berikutnya, karena lembaga-lembaga pendidikan lainnya berkembang maju pesat terutama madrasah, maka fungsi masjid sebagai tempat pendidikan di Mesir mulai kelihatan berkurang. Pada masa itu hanya masjid al-Azhar saja yang sempat dikembangkan menjadi universitas. Sebelum itu masjid ini pernah dijadikan pusat propaganda politik dan keagamaan oleh Khalifah Fathimiyah.[11]
Pelaksanaan pendidikan di masjid-masjid tersebut di atas dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu halaqot[12] dan zawiyat[13]. Setiap halaqot dan zawiyat mempunyai guru-guru yang mengajarkan pengetahuan-pengetahuan agama kepada murid-murid. Bidang studi yang diajarkan pada waktu itu adalah al-Qur’an, Fiqih, Tafsir, al-Hadits, dan bahasa Arab.[14]
Murid-murid bebas memilih halaqot atau zawiyat yang disukai atau guru mana yang dipilih. Hal ini menunjukkan belum adanya tingkatan pendidikan dan kurikulum tertentu pada waktu itu.[15] Murid-murid yang meneruskan pelajaran pada halaqot dan zawiyat dalam masjid-masjid itu adalah mereka yang telah menyelesaikan studinya pada kuttab.[16]
Dalam perjalanannya, Jami’ al-Azhar yang tadinya merupakan lembaga pendidikan Islam yang berbentuk masjid kemudian berkembang menjadi madrasah, yang memiliki bangunan fisik tertentu dan bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan masjid. Bangunan madrasah itu meliputi tiga unit, yaitu: unit madrasah[17], unit asrama[18], dan unit masjid. Sistem asrama ini masih diteruskan oleh al-Azhar sampai sekarang ini.[19] Bahkan penulis sendiri yang pernah menyelesaikan studi S1 di al-Azhar jurusan Tafsir pernah tinggal di asrama tersebut, yang dikenal dengan nama Madinat al-Bu’uts al-Islamiyah, yang terletak di Madinat al-Nashr.
Sejak dikenal sistem madrasah, pendidikan Islam di Mesir mulai menjalankan sistem penjenjangan dalam sistem pendidikannya. Mulai penjenjangan dari tingkat dasar, tingkat menengah, dan tingkat tinggi.
Pada saat itu hanya ada dua buah perguruan tinggi yang berfungsi memberikan pendidikan dan pengajaran pada tingkat tinggi dalam waktu bersamaan, yaitu Universitas al-Azhar dan Dar al-Hikmat atau Dar al-‘Ilm di Mesir pada abad kesepuluh. Kalau yang pertama masih berjalan sampai saat ini, sedang yang kedua hanya berjalan sampai berakhirnya masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah (567/1171) yang kemudian di tempat itu dibuka Madrasah Syafi’iyyat.[20]
Sebagai lanjutan dari tingkat menengah, maka kedua lembaga pendidikan tinggi itu menerima alumni halaqot dan zawiyat yang terdapat di masjid dan alumni madrasah. Dan kurikulumnya ditambah dalam setiap bidangnya. Maka pengetahuan agama yang diajarkan di tingkat tinggi itu meliputi; Fiqih, Tafsir, Qiroat, al-Hadits dan Ilmu Kalam. Sedangkan pengetahuan bahasa meliputi Nahwu, Sharaf, Balaghah, al-Bayan, dan sastra. Demikian juga pengetahuan umum mencakup Filsafat, Ilmu Ukur, Falaq, Ilmu Nujum, Kedokteran, Kimia, Ilmu Pasti, Geografi, Musik, dan Sejarah. Di Universitas al-Azhar ilmu-ilmu pengetahuan agama lebih diminati oleh para mahasiswanya daripada ilmu-ilmu lain.
Perlu dicatat, bahwa bila dilihat pada proses pengajaran yang dilaksanakan pada lembaga-lembaga pendidikan di Mesir saat itu, maka Mesir hanya mempunyai satu macam sistem pendidikan saja yaitu sistem pendidikan tradisional yang merupakan warisan dari sistem pendidikan Dinasti Ayyubiyah. Sistem ini berlangsung sampai pertengahan abad keduapuluh.
Universitas al-Azhar di Kairo sampai tahun 1942 masih mempunyai sistem pendidikan yang tradisional.[21] Usaha-usaha Muhammad Abduh di abad kesembilan belas untuk mengadakan pembaharuan di Universitas al-Azhar terbentur tantangan kaum ulama konservatif yang pada saat itu belum dapat melihat faidah perubahan-perubahan yang dianjurkannya.[22]
Disamping itu, ada sikap saling curiga dan salah pengertian antara penguasa dan Universitas al-Azhar, maka usaha pembaharuan pendidikan kurang berhasil, terutama sejak revolusi Juli 1952. Barulah usaha yang paling menentukan terhadap perkembangan al-Azhar sampai sekarang adalah usaha pembaharuan pada tahun 1961.[23]
[3]   Wajah al-Azhar Modern
Pada akhir-akhir abad ke-20, Universitas al-Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuan pengiriman ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah di tingkat internasional sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta al-Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut, diantaranya ialah: Syeikh DR. Abdul Halim Mahmud, Syeikh DR. Muhammad al-Bahy, dan banyak lagi.
Sebelumnya, pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur al-Azhar mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi Universitas al-Azhar menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, dan Bahasa Arab.
Saat ini al-Azhar telah mempunyai 41 fakultas, 19 fakultas diantaranya berada di Kairo dan selebihnya berada diberbagai provinsi Mesir.
F Fakultas-Fakultas al-Azhar Putera terdiri dari :
1.      Fakultas Ushuluddin; masa kuliah selama empat tahun, dengan jurusan-jurusan sebagai berikut :
a.      Tafsir dan Ilmu-Ilmu al-Qur’an,
b.      Hadis dan Ilmu Hadis,
c.       Akidah Filsafat
d.      Dakwah dan Peradaban Islam.
2.      Fakultas Syariah; dengan jurusan sebagai berikut :
a.      Program Under Graduate, dengan jurusan; Syariah Islamiyah (4 tahun), Syariah dan Hukum (5 tahun)
b.      Program Post Graduate, dengan jurusan: 1). Ushul Fiqh, 2). Perbandingan Mazhab, 3). Perbandingan Hukum, 4). Sosial Politik.
3.      Fakultas Dakwah; jurusan-jurusannya baru ada pada Post Graduate: 1). Perbandingan Agama, 2). Kebudayaan Islam.
4.      Fakultas Studi Islam; dengan jurusan pada post graduate.
5.      Fakultas Bahasa Arab; dengan jurusan: 1). Bahasa Arab dan Adab (Umum), 2). Sejarah dan Peradaban, 3). Pers dan Informasi.
6.       Fakultas-Fakultas Umum, terdiri dari :
1). Fakultas Bahasa dan Terjemah, 2). Fakultas Perdagangan/Ekonomi, 3). Fakultas Tarbiyah, 4). Fakultas Kedokteran, 5). Fakultas Farmasi, 6). Fakultas Kedokteran Gigi, 7. Fakultas Tekhnik, 8). Fakultas Ilmu Pasti, 9). Fakultas Pertanian
F Sedangkan Fakultas-Fakultas al-Azhar Puteri.
1.      Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab, dengan jurusan sebagai berikut :
a.      Syariah Islamiyah
b.      Ushuluddin
c.       Bahasa Arab.
2.      Fakultas Studi Sosial,
3.      Fakultas Kedokteran,
4.      Fakultas Ilmu Pasti,
5.      Fakultas Perdagangan,
6.      Fakultas Farmasi.
Untuk fakultas-fakultas agama bagi orang asing (selain Mesir) tidak dipungut biaya kuliah bahkan diberikan tunjangan beasiswa, sedangkan untuk fakultas umum bagi orang asing diwajibkan membayar biaya kuliah, kecuali mereka yang mendapatkan beasiswa.
Disamping semua yang telah disebutkan di atas, al-Azhar juga mempunyai lembaga-lembaga pendidikan yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Î’dadiyah (setingkat SMP), Tsanawiyah (setingkat SMA), Sekolah Pendidikan Guru, dan Institut Seni Membaca dan Menghafal Al Qur’an.
Program Pendidikan
Pada setiap fakultas al-Azhar terdapat dua program :
a.      Program Under Graduate/S 1, dengan masa kuliah minimal empat tahun. Lulusan program ini mendapat gelar Lc (Licence). Masa aktif kuliah dimulai pada bulan September sampai Desember dengan ujian term I pada bulan Januari. Kemudian dilanjutkan pada pertengahan Februari sampai Mei yang diakhiri dengan ujian term II pada bulan Juni. Bagi yang belum lulus untuk mata kuliah al-Qur’an diberi kesempatan mengulang di bulan Agustus. Pada program ini mahasiswa dituntut untuk :
1.      Lulus pada setiap mata kuliah, apabila tidak lulus lebih dari dua mata kuliah dianggap tidak naik tingkat dan harus mengulang mata kuliah yang tertinggal ditahun berikutnya. Kesempatan mengulang selama dua tahun berturut-turut, kalau masih gagal juga akan diberhentikan (mafsul/DO).
2.      Diwajibkan menghafal al-Qur’an sebanyak 2 juz untuk setiap tingkat bagi mahasiswa asing non Arab.
b.      Program Post Graduate (Dirasah Ulya), dibagi dalam dua program :
1.      Program Magister (Master), dengan masa pendidikan selama dua tahun setelah Lc, ditambah dua tahun penulisan tesis. Untuk meraih gelar Master dituntut :
ü  Hafal al-Qur’an 30 Juz bagi orang Arab dan 8 juz bagi non Arab.
ü  Lulus setiap mata kuliah pada ujian lisan dan tulisan yang diadakan dalam dua gelombang setiap tahunnya. Jika tidak lulus dalam satu mata kuliah harus mengulang seluruh mata kuliah pada gelombang selanjutnya, dan diberi kesempatan mengulang maksimal tiga tahun berturut-turut.
ü  Pada masa penulisan tesis harus mengajukan judul dengan kerangka pembahasan, setelah diterima kemudian ditentukan pembimbing.
2.      Program Doktor (DR/Ph.D).
ü  Program ini berlaku hanya untuk lulusan Magister, dan diberi waktu untuk penulisan disertasi minimal dua tahun.
ü  Setelah diterima judul disertasinya, kemudian akan ditentukan pembimbingnya.

[4]   Pandangan
Dengan rentang waktu yang lama al-Azhar tetap kokoh berdiri sebagai perguruan tinggi Islam dan memberikan informasi kepada generasi-generasi berikutnya bahwa Islam pernah menjadi kiblat pengetahuan dunia. Dengan kekuatan al-Azhar dalam mempertahankan lembaganya maka dalam tulisan ini penulis memberikan pandangan yang dinggap penting untuk mengatahui lebih jauh perguruan Islam pertama ini. Beberapa pandangan yang dicoba untuk dijawab diantarannya : pertama, bagaimana al-Azhar mampu bertahan dalam rentang waktu yang lama? kedua, bagaimana kurikulum yang diterapkan dari generasi ke generasi? ketiga, apa kekhasan yang dimiliki al-Azhar sebagai lembaga pendidikan Islam tertua?. Selain perpindahan ulama-ulama dan pencari ilmu dari Bahgdad dan Andalus karena keruntuhan dinasti mereka ke Mesir, juga karena kebijakan dan perhatian kekhalifahan yang sangat kondusif untuk pengembangan al-Azhar sebagai sebuah perguruan tinggi.
Diantaranya adalah al-Azhar banyak mendapat wakaf dari para sultan, umara ataupun individu yang tujuannya adalah untuk membantu dan memelihara kemasyhuran ilmu pengetahuan di al-Azhar dan untuk kontinuitas al-Azhar sebagai pusat pergerakan ilmu pengetahuan di Mesir khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Harta wakaf al-Azhar hingga saat ini masih digunakan untuk membayar gaji para dosen dan karyawannya, pemberian beasiswa kepada para pelajar dan mahasiswa, baik untuk warga negara Mesir sendiri maupun warga negara asing, selain itu juga digunakan untuk membiayai pembangunan asrama pelajar dan mahasiswa. Selain dari harta wakaf sumber terpenting dalam manajemen keuangan al-Azhar adalah adanya pilan tropi yang berupa infaq, sedekah, zakat, dan amal dari pengelola dan mahasiswa.
Setelah penguasaan dinasti Ayyuby, faham Syi’ah kemudian dihilangkan dan diganti dengan faham Sunni. Selain itu fungsi al-Azhar kemudian meluas menjadi perguruan tinggi yang diminati dan menjadi kiblat ilmu pengetahuan. Menurut Dr. Hasanain Rabi’ bahwa pada abad ke-9 H (15 M) merupakan masa gemilang bagi al-Azhar. Karena pada saat itu al-Azhar menduduki tempat tertinggi di antara madrasah-madrasah dan jamiah yang ada di Kairo pada saat itu. Ketika itu, al-Azhar sebagai induk sekolah dan sebagai Jamiah Islamiyah terbesar. Dan ulama-ulama muslimin dari berbagai negara datang dan belajar di Jami’ al-Azhar.
Selain peran pemerintah, pembaharu-pembaharu yang dihasilkan al-Azhar pun kemudian memberikan andil cukup besar untuk pengembangan al-Azhar. Syeikh Hasan al-Athar misalnya, beliau adalah orang pertama yang menyerukan agar al-Azhar dapat lebih mengembangkan diri seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurutnya al-Azhar harus berani memasukkan atau mengajarkan kuliah Filsafat, Sastra, Geografi, Sejarah, dan ilmu-ilmu thabi’i yang sebelumnya dilarang di al-Azhar. Idenya yang lain adalah agar setiap permasalahan yang muncul, hendaknya merujuk kepada kitab aslinya (sumber primer).
Selanjutnya, kurikulum yang diterapkan al-Azhar dari generasi ke generasi selalu melakukan perubahan. Tapi perubahan yang dilakukan tidak lepas dari tradisi yang sudah dikembangkan di perguruan tersebut. Yang paling mendasar dan menjadi kekuatan sehingga al-Azhar mampu bertahan adalah misi yang dibawa tidak hanya berpusat pada misi dakwah sebagai gambaran utama ketika berbicara Islam, tetapi juga membawa misi ilmiyah yaitu misi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih penting dari itu, al-Azhar adalah lembaga pendidikan yang sangat kuat memegang dan mempertahankan tradisi dan sangat sedikit mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum yang diterapkan tetap menggunakan beberapa kurikulum luar tetapi hanya menggunakan sebagian kecil saja, sehingga tidak merusak tradisi keilmuan yang sudah dikembangkan sebelumnya di lembaga tersebut.
Harus diakui, memang tidak mudah mengadakan reformasi di al-Azhar, seperti dikemukakan Zuhairi Misrawi dalam buku al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2010). Ini terlihat jelas saat Syeikh Muhammad Abduh mengusulkan Muqaddimah Ibn Khaldun untuk dimasukkan menjadi materi dalam kurikulum al-Azhar, ditolak oleh Syeikh Muhammad al-Anbani, Syeikh Al-Azhar waktu itu.
Ikhtiar untuk memasukkan materi ilmu-ilmu pengetahuan umum di al-Azhar baru berhasil pada tahun 1895 M. Kehadiran model perkuliahan yang diklasifikasikan dalam fakultas ‘Ilmi (sains) dan Adaby (agama) merupakan salah satu petanda univeristas modern. Terlebih lagi saat membuka tiga Fakultas; Ushuluddin, Syariah dan Bahasa Arab melalui Undang-undang pada 1930 M semakin meneguhkan keberadaan Perguruan Tinggi yang modern.
Apalagi pada masa Syeikh Mahmud Syaltut (1961 M) yang berhasil mengeluarkan Undang-Undang Nomor 103 Tahun 1961 M tentang penetapan Fakultas-fakultas cabang ilmu pengetahuan umum, seperti Fakultas Kedokteran, Perdagangan, Teknik, Pertanian, dan Farmasi. Sungguh meyakinkan al-Azhar sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dunia. (Kompas, 28/09)
Selanjutnya, sebagai lembaga Islam tertua, al-Azhar memiliki ciri khas tersendiri sehingga mampu bertahan dan tetap berdiri kokoh. Beberapa kekhasan al-Azhar misalnya pada tradisi keagamaannya, al-Azhar terkenal dengan syeikh-syeikh dan lulusan yang berkualitas dalam bidang agama. Selain itu, al-Azhar juga termasuk lembaga yang berhasil mencetak pembela-pembela agama. Sehingga agama Islam tetap kokoh dalam koridor sesungguhnya. Manajemennya, al-Azhar hingga saat ini masih tetap pada konsep dasar ketika al-Azhar dijadikan lembaga pendidikan.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, setelah melihat bagaimana sejarah dan perkembangan al-Azhar sampai dengan saat ini, maka dapat disimpulkan antara lain;
[1]   Al-Azhar pada awalnya adalah masjid yang dibangun dan dijadikan sarana untuk menyebarkan faham Syi’ah Ismailiyah oleh Dinasti Fatimiyah. Pada perkembangan berikutnya, al-Azhar dirubah total oleh Dinasti Ayyubiyah yang berfaham Sunni. Setelah pengalihfungsian tersebut al-Azhar terus mengembangkan dan melahirkan ulama-ulama berkaliber dunia.
[2]   Al-Azhar yang pada awalnya sebagai sebuah masjid kemudian berevolusi menjadi lembaga pendidikan --yang tradisional kemudian modern-- dengan berbagai jenjangnya, baik tingkat dasar, menengah bahkan tingkat tinggi. Bahkan al-Azhar merupakan satu-satunya lembaga pendidikan --yang berawal dari masjid sampai seperti sekarang ini-- yang bertahan dan tetap eksis dalam rentang waktu yang lama, dengan segala dinamika dan perkembangannya.
[3]   Kemampuan al-Azhar bertahan dalam rentang waktu yang cukup lama tidak lepas dari peran pemerintah yang menjadi sokongan dana atas pengembangan yang dilakukan. Selain itu, lulusan-lulusan al-Azhar banyak memberikan sumbangan untuk pengembangan al-Azhar menjadi jamiat yang besar.
[4]   Saat ini al-Azhar sudah menjadi kampus Islam tertua dan terbesar. Karena pengembangan yang terus diperbaharui dan ditingkatkan menjadikan jamiat al-Azhar sebagai salah satu pilihan terbaik bagi pencari ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama dan umumnya ilmu-ilmu umum.






Daftar pustaka

1.      Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, Dar al-Kasysyaf, Beirut, Libanon, 1954.
2.      Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Oxford University Press, New York, 1973.

3.      Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. Ketujuh, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

5.      KBRI bidang P & K, Pendidikan Islam di Indonesia dan Mesir, buku I, Kairo, tp., 1983.
6.      Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, Indonesia, Cet. Kedua, 1988.

7.      Mukti Ali (Tesis), Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir, Studi Tentang Sekolah-sekolah Modern Muhammad ‘Ali Pasya, Cv. Perdana Mulya Sarana, 2008.

8.      Sahran, Al-Azhar Sebagai Madrasah Tinggi Islam Pertama dan Tertua, Cakrawala Iqro, Minggu, 26 Desember 2010.

9.      Syeikh Khalil al-Haurany, Shofahat min Tarikh al-Azhar al-Syarif, Ta’sisan wa ‘Ilman wa Muqowamatan lil Ajnaby, http://www.alazhar.gov.eg



[1] http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm.
[2] Syeikh Khalil al-Haurany, Shofahat min Tarikh al-Azhar al-Syarif, Ta’sisan wa ‘Ilman wa Muqowamatan lil Ajnaby, http://www.alazhar.gov.eg.
Lihat juga http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm, Asholah wa Hadatsah Jami’ wa Jamiatan
[3] Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, Dar al-Kasysyaf, Beirut, Libanon, 1954, hal 49 dalam tesis Mukti Ali, Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir, Studi Tentang Sekolah-sekolah Modern Muhammad ‘Ali Pasya, Cv. Perdana Mulya Sarana, 2008, hal 55
[4] Sahran, Al-Azhar Sebagai Madrasah Tinggi Islam Pertama dan Tertua, Cakrawala Iqro, Minggu, 26 Desember 2010
[5] Sahran, Ibid.
[6] Syeikh Khalil al-Haurany, Opcit., Lihat juga http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm, Asholah wa Hadatsah Jami’ wa Jamiatan
[7] Syeikh Khalil al-Haurany, Opcit. Lihat juga http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm, Asholah wa Hadatsah Jami’ wa Jamiatan
[8] Kuttab adalah lembaga pendidikan yang sudah dikenal sebelum Islam dan tersebar di tanah Arab, yang berfungsi sebagai tempat belajar menulis dan membaca. Setelah Islam datang, tradisi belajar di Kuttab masih berjalan. Lihat Syalabi, History, hal 18
[9] Syalabi, History, hal 48
[10] Syalabi, History, hal 49
[11] Mukti Ali, Opcit, hal 56
[12] Istilah halaqot berarti bulatan di mana murid-murid mengelilingi guru atau syeikh tertentu untuk mempelajari ilmu tertentu. Sistem ini masih berjalan di al-Azhar sampai sekitar tahun 1950-an. Sesudah tahun 1960 sistem ini sudah tidak ada lagi, sebab segalanya sudah berjalan menurut sistem Universitas Barat. Lihat Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, Indonesia, Cet. Kedua, 1988, hal. 135 dalam Mukti Ali, Opcit, hal 56
[13] Istilah zawiyat berarti pojok yang dijadikan tempat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dalam masjid. Lihat Syalabi, History, hal 52
[14] Mukti Ali, Opcit, hal 56
[15] Langgulung, Opcit, hal 113
[16] Ibid., hal 12
[17] Unit madrasah ini terdiri dari beberapa ruangan belajar, yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas belajar seperti bangku, meja murid, kursi, dan meja guru.
[18] Unit asrama dijadikan tempat tinggal murid-murid, guru-guru, dan para pegawai madrasah.
[19] KBRI bidang P & K, Pendidikan Islam di Indonesia dan Mesir, buku I, Kairo, tp., 1983 hal 38 dalam Mukti Ali, Opcit., hal 62
[20] Mukti Ali, Opcit., hal 68
[21] Lihat Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Oxford University Press, New York, 1973, hal 306 dalam Mukti Ali, Opcit., hal 49
[22] Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. Ketujuh, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hal 67 dalam Mukti Ali, Opcit., hal 49
[23] Lihat KBRI bidang P & K, Opcit., hal 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar