MADRASAH TINGKAT TINGGI
UNIVERSITAS AL AZHAR, MESIR
PENDAHULUAN
Berbicara al-Azhar,
pandangan kita tertuju pada sebuah lembaga pendidikan Islam tertua yang hingga
saat ini masih menjadi rujukan masyarakat untuk menimba ilmu-ilmu keislaman
secara khusus dan ilmu-ilmu umum secara global. Sebagai institusi pendidikan, al-Azhar
memiliki banyak peran penting mencetak dan mengantarkan alumni-alumninya
menjadi orang-orang penting dalam berbagai bidang kehidupan.
Awal didirikannya pada
masa Dinasti Fatimiyah di Mesir[1]. Al-Azhar adalah bangunan
masjid yang tidak berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya yang sudah ada
pada saat itu. Namun, al-Azhar selain sebagai tempat ibadah juga digunakan
untuk menanamkan faham Syi’ah Ismailiyah. Dengan mazhab Syi’ah yang dikembangkan
inilah masjid al-Azhar menjadi pencetak dan penguat Dinasti Fatimiyah. Pada
masa ini masjid menjadi tempat berkumpulnya ulama Fikih khususnya ulama Syi’ah
Ismailiyah juga para wazir dan hakim. Hingga kemudian madzhhab Syi’ah ini berubah
pada dinasti Ayyubiyah yang berfaham sunni.
Bagaimana pergeseran
fungsi masjid menjadi sarana menanamkan faham syiah Ismailiyah hingga kemudian
berganti ke faham sunni, serta jatuh bangunnya lembaga ini hingga mampu
bertahan dan menjadi rujukan para pencari ilmu, perlu dikaji untuk melihat,
mempelajari dan mengambil aspek-aspek penting yang dapat digunakan pada
lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini.
Oleh karena cakupan
pembahasan al-Azhar begitu luas maka dalam makalah ini penulis hanya membatasi
kajian pada beberapa hal berikut. Pertama, Sejarah singkat berdirinya al-Azhar.
Kedua, perkembangan al-Azhar dari Masjid menjadi Universitas. Dan Ketiga, al-Azhar
di zaman modern.
PEMBAHASAN
[1]
Sekilas tentang berdirinya al-Azhar
Al-Azhar, perguruan
tinggi Islam yang menjadi bukti monumental peradaban Islam di Mesir pada
awalnya adalah bangunan masjid yang tidak berbeda dengan masjid-masjid lain
pada umumnya yang ada pada saat itu. Masjid al-Azhar dibangun oleh panglima
Jauhar al-Shiqily pada 972 M di bawah arahan Khalifah al-Muizz.
هو
مسجد وجامعة في القاهرة في مصر، بناه جوهر الكاتب الصقلي (إلياس الصقلي) قائد جند أبي
تميم معد بعد عام من فتح الفاطميين لمصر، وبعد أن أنشأوا قاعدة ملكهم الجديدة مباشرة
(القاهرة جمادى الأولى عام 259 رمضان 361). وفتح للصلاة
في شهر رمضان عام 361هـ (حزيران - تموز سنة 972)[2]
Al Azhar adalah masjid dan Universitas di Kairo Mesir, dibangun oleh
panglima Jauhar al Katib al-Shiqily (Ilyas al-Shiqily) setahun setelah
penaklukan Dinasti Fathimiyah terhadap Mesir, dan langsung setelah pendirian
pangkalan kerajaan yang baru (Kairo, Jumadil Ula tahun 259 Ramadhan 361). Dan
dibuka untuk shalat pada bulan Ramadhan tahun 361 H, Huzairan – Tamuz tahun
972)
Selain itu atas perintah
Al-Muiz, Jauhar Al-Shiqili mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo)
yang berarti kota kemenangan. Tujuan pendirian ibu kota itu adalah untuk
menampung keperluan administrasi pemerintah dan tentara Berber. Kota Kairo pada
masa-masa selanjutnya dijadikan sebagai ibu kota Khilafah Fatimiyah. Dari al-Qohirah
inilah atas instruksi Al-Muiz, Jawhar al-Shiqili membangun masjid yang
didedikasikan untuk penyebaran kebudayaan, ajaran, dan pemikiran Syiah. Masjid
tersebut diberi nama al-Azhar yang pada masa-masa berikutnya berubah menjadi
universitas dan didaulat sebagai universitas Islam tertua di dunia.
Masjid al-Azhar ini
dibangun pada tahun 361 H/972 M. Masjid ini merupakan masjid pertama di Kairo
dan masjid keempat di Mesir, setelah masjid ‘Amr ibn ‘Ash, masjid ‘Askar, dan
masjid Ahmad ibn Thulun.[3] Hal ini merupakan usaha
Dinasti Fatimiyah untuk menyebarkan faham Syi’ah. Beberapa tahun kemudian
tepatnya pada 365 H / 976 M. mulai dibuka kegiatan belajar-mengajar dan majelis
ilmu pengetahuan bermadzhab Syi’ah Ismailiyah. Pada masa itu duduk sebagai
pengajar Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi, ia mengajarkan sebuah kitab al-Iqtishar
karya ayahnya sendiri. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqhiyah yang berpegang
kepada iman Ahlu al-Bait. Ini merupakan kelompok studi pertama di Jami’
al-Azhar. Selain Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi, saudara kandungnya yang
bernama Abu Abdillah Muhammad bin Nu’man pada tahun 385 H turut pula membantu
mengajarkan ilmu-ilmu Ahlu al-Bait.
Selain tentang
ke-Fatimiyah-an pada perkembangan selanjutnya juga dipelajari ilmu-ilmu
Naqliyah atau Syar’iyyah dan Aqliyah atau Hukumiyah, kadang disebut juga dengan
ilmu ‘Ajam. Adapun yang termasuk ilmu naqliyah antara lain : Fikih, Hadis,
Tafsir, Nahwu, Lughah, Al-Bayan, Adab, Ilmu Tafsir, Ilmu Qiro’at, Ilmu Hadis, dan
Ilmu Kalam. Sedangkan yang termasuk ilmu aqliyah adalah: Filsafat, Arsitektur,
Ilmu Nujum, Musik, Kedokteran, Syair, Kimia, Matematika, Sejarah, dan Geografi.
Pada awal berdirinya
Jami’ al-Azhar dinamai dengan Jami’ al-Qahirah (Jami’ Kairo) sesuai dengan nama
kota tempat ia berdiri. Pemakaian nama ini dapat dibuktikan secara sejarah,
dimana sebagian besar pakar sejarah Mesir menyebut Jami’ ini dengan Jami’
al-Qahirah, hanya sedikit saja dari meraka yang tidak menyebutnya demikian. Sedangkan
al-Maqrizi, sejarawan muslim Mesir terbesar, kadang menggunakan nama Jami’ al-
Qahirah dan terkadang juga menggunakan nama Jami’ al-Azhar. Kesimpulannya
adalah bahwa pada pertengahan abad 9 H. sampai pertengahan abad 15 H. pemakaian
dua nama ini menjadi sesuatu yang masih kontroversial, namun kemudian nama lama
(Jami’ al-Qahirah) berlangsung memudar dan nama baru (Jami’ al-Azhar) lebih
banyak dipakai sampai saat ini.[4]
Selain perbedaan nama
awal tersebut, sejarawan juga berbeda pendapat tentang sumber pengambilan kata
al-Azhar. Pendapat pertama mengatakan bahwa kata al-Azhar merupakan musytaq
(pecahan) dari kata al-Zahra, gelar Sayidah Fathimah, putri Rasul Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib, apalagi Dinasti
Fathimiyah sendiri dinisbatkan kepada Sayyidah Fathimah al-Zahra. Sebagian
kelompok sejarawan lainnya ada yang berpendapat bahwa pengambilan nama al-Azhar
berkaitan dengan fenomena sosio-kultural yang berhubungan dengan skema kota
Kairo sendiri dahulunya. Diriwayatkan bahwa di masa khalifah al-Aziz Billah
dimulailah pendirian istana-istana Bani Fathimiyah yang berdiri sangat megah
dan indah-indah sehingga waktu itu istana-istana tersebut dinamai al-Qushur al-Zahirah
(istana-istana yang bersinar cemerlang). Kelompok ketiga berpendapat bahwa
pemakaian nama al-Azhar adalah sebuah rasa harap dan optimis terhadap sesuatu
yang akan dicapai masjid ini nantinya karena berkembangnya ilmu-ilmu di sana
dan ia akan tetap menjadi pusat pengembangan dakwah syi’ah sepanjang masa
kelak.[5]
Namun, bila melihat situs
resmi al-Azhar sendiri akan didapati bahwa penamaan al-Azhar adalah diambil
dari kata al-Zahra, gelar Sayidah Fathimah, putri Rasul saw. Dalam situs yang
menceritakan tentang sejarah pendirian itu dijelaskan;
وإنشاء
الفاطميين لهذا المسجد يفسّر الاسم الذي أطلق عليه، فقد قيل إنّ الأزهر إشارة إلى السيدة
الزهراء وهو لقب فاطمة بنت الرسول محمد (صلى الله عليه و سلم) التي سميّت باسمها أيضاً
مقصورة في المسجد (المقريزي، ج2، ص275، س16). وقد زاد
المستنصر والحافظ في بناء المسجد شيئاً قليلاً.[6]
Dan pembangunan Dinasti Fathimiyah terhadap masjid ini menjelaskan nama
yang diberikan kepadanya (masjid al-Azhar), dan dikatakan bahwa sesungguhnya
penamaan al-Azhar merupakan merujuk kepada nama al-Sayyidah al-Zahra, julukan
Fathimah puteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dinamai dengan
namanya juga terbatas pada masjid (al Maqrizy, jilid 2, hal 275, baris 16).
Kemudian al-Mushtanshir dan al-Hafidz menambahkan sedikit terhadap bangunan
masjid.
Menurut penulis, pendapat
terakhir ini lebih dapat diterima. Karena memang umumnya penamaan masjid bukan
hanya atas dasar ibadah karena Allah Swt, akan tetapi juga mempunyi nilai
politis, untuk mengenang nama pendirinya. Apalagi bila dilihat dari sejarahnya,
bahwa masjid itu didirikan pada masa Dinasti Fatimiyah, dan pendirian masjid
pada masa itu awalnya bertujuan untuk menyebarkanluaskan paham-paham keagamaan
tertentu --yaitu Syi’ah Isma’iliyah--, kemudian dijadikan pusat kegiatan
keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Pada perjalanan
sejarahnya al-Azhar telah menduduki posisi untuk membangkitkan kehidupan
peradaban Mesir terutama yang berkaitan dengan dakwah Fatimiyah sejak masa
Khalifah al-Aziz Billah. Pada masa itu umat manusia mulai bangkit semangatnya
untuk mempelajari ilmu-ilmu munadzarah dan mengkaji Fikih Syi’ah. Jami al-Azhar
saat itu telah menjadi pusat ilmu pengetahuan dengan membawa misi
menyebarluaskan dakwah Fatimiyah sampai dibangunnya Jami al-Hakim bi Amirillah.
Sistem halaqah-halaqah yang ada merupakan dasar studi di al-Azhar.
Beberapa peristiwa
penting yang terjadi pada masa Dinasti Fatimiyah selain membangun masjid al-Azhar
antara lain:
1.
Pada masa Khalifah Al-Hakim mendirikan sebuah lembaga
riset yang dikenal dengan nama Dar al-Hikmah (The House Of Wisdom). Lembaga
tersebut didesain sedemikian rupa untuk memberikan konstribusi terhadap
kemajuan penelitian ilmiah, terutama di bidang Astronomi, Matematika, dan Kedokteran.
Salah
seorang astronom Arab terkemuka yang berasal dari lembaga ini adalah Aly Bin
Yunus. Dia melakukan penelitian di Dar al-Hikmah lebih dari 17 tahun. Sarjana
Dar al-Hikmah terkenal lainnya adalah Ibn al-Haitham. Penelitiannya di bidang Teknik,
Matematika, dan Fisika mengilhami para ilmuwan Barat, seperti Roger Bacon,
Kepler, dan Leornado di bidang optik.
Di
bidang seni bangunan, pada masa Fatimiyah, Kota Kairo dipenuhi dengan bangunan
yang memiliki gaya arsitektur yang tinggi. Jenis keramik lustreware tersebar
luas selama periode Fatimiyah. Kaca dan logam juga populer saat itu. Masjid dan
istana dihiasi dengan marmer dan granit. Pilar, ukiran, dan patung yang
bercorak Islam banyak digunakan. Panel dekoratif dan lampu kandil dilapisi
dengan batu pualam putih dalam berbagai lapisan warna. Tekstil dan bordir dari
Kairo juga mampu menarik minat dunia, terutama para pedagang dari Eropa. Jejak
seni arsitektur Fatimiyah yang sampai saat ini masih bisa dilacak adalah
bangunan Masjid al-Azhar dan Masjid al-Hakim serta kawasan Khan al-Khalili.
Di
bawah Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kerajaan yang kekuasaannya meliputi Afrika
Utara, Sisilia, Palestina, Lebanon, Suriah, Laut Merah Afrika, Yaman, dan
wilayah Hijaz. Mesir terus berkembang dan Fatimiyah memperluas jaringan
perdagangan di Mediterania dan Samudra Hindia. Perdagangan dan hubungan
diplomatik telah diperpanjang sampai dengan Dinasti Song, Cina, yang pada
akhirnya menentukan arah ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan.
Kemajuan
yang berhasil dicapai Dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari prestasi dan
ditunjang laju pertumbuhan di sektor-sektor terpenting, di antaranya militer
yang kuat, administrasi pemerintahannya yang baik, ilmu pengetahuan yang berkembang,
dan ekonominya yang stabil.
2.
Dinasti Fatimiyah jatuh ke tangan Shalah al-Din
al-Ayyubi.
Setelah
Dinasti Fatimiyah jatuh ke tangan Shalah al-Din al-Ayyubi pada tahun 567 H
(1171 M), maka ia mengambil kebijakan baru dengan menutup seluruh aktifitas di al-Azhar
secara total bahkan dilarang digunakan untuk kegiatan apapun selama kurang
lebih satu abad lamanya. Hal itu dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh
Syiah yang lama dikembangkan pada masa penguasaan Dinasti Fatimiyah.
وتغيّر الحال في عهد الأيوبيين، فمنع صلاح الدين
الخطبة من الجامع وقطع عنه كثيراً مما أوقفه عليه الحاكم. وانقضى نحو قرن من الزمان
قبل أن يستعيد الجامع الأزهر عطف الولاة ووجوه البلاد عليه، ولما جاء الملك الظاهر
بيبرس زاد في بنائه وشجّع التعليم فيه وأعاد الخطبة إليه في عام 665هـ = 1266-1267م[7]
Beberapa
peristiwa penting yang terjadi pada masa Shalah al-Din al-Ayyubi antara lain:
a)
Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar selama hampir
seratus tahun, yaitu sejak tahun 567 H (1171 M) sampai masa Sultan al-Mamluki
ad-Dhahir pada tahun 665 H (1266 M).
b)
Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar oleh Amir
Edmir dan Sultan Berbes atau Sultan al-Dzohir Berbes.
c)
Al-Azhar menjadi pusat studi Islam yang amat penting,
terutama ketika Kairo menjadi kiblat bagi para ulama, fuqaha, dan mahasiswa.
Perkembangan al-Azhar mencapai
puncaknya ketika Baghdad sebagai pusat keilmuan di timur diporak-porandakan
bangsa Mongol. Ditambah lagi jatuhnya Andalus ke tangan Franj yang beragama
Kristen yang menghapuskan peradaban Islam di sana. Hal tersebut mengakibatkan
para ulama dan penuntut ilmu mengalihkan kiblat rujukannya pada al-Azhar di
Mesir yang pada waktu itu termasuk daerah Islam yang aman. Dengan berkumpulnya
para ulama dan penuntut ilmu dari berbagai daerah khususnya Baghdad dan Andalus
menjadikan al-Azhar sebagai pusat keilmuan yang berkembang besar hingga saat
ini.
[2]
Al-Azhar dari Masjid menjadi
Universitas
Sudah menjadi suatu kaidah
tak tertulis bahwa peradaban islam di suatu daerah selalu dikaitkan dengan
peran masjid jami’ (masjid negara) dikawasan tersebut. Hal ini mungkin diilhami
dari kerja nyata Rasulullah Saw. ketika hijrah ke Madinah. Tugas pertama yang beliau
lakukan adalah membangun Masjid Nabawi. Ini menandakan peran masjid yang tidak
hanya terbatas pada kegiatan rituan semata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah
sentral pemerintahan islam, sarana pendidikan, mahkamah, tempat mengeluarkan
fatwa, dan sebagainya.
Menurut Syalabi, berbeda
dengan kuttab[8],
masjid sejak masa-masa permulaan Islam sudah mempunyai fungsi yang banyak,
yaitu tempat: beribadah, memberi pelajaran, untuk pengadilan, tentara berkumpul
dan tempat menerima duta dari luar negeri.[9] Fungsi masjid sebagai
tempat shalat Jum’at, maka khutbah Jum’at itu sendiri sebenarnya sudah
memberikan pendidikan kepada masyarakat umum.
Namun, meskipun masjid
mempunyai fungsi pendidikan, tidak semua masjid di Mesir sempat berkembang
sebagai tempat pemberikan pendidikan, terkecuali beberapa masjid yang pernah
berfungsi sebagai tempat pemberian pelajaran seperti Masjid Jami’ Amru ibn al-‘Ash,
Jami’ al-‘Askar, Jami’ ibn Tulun, Jami’ al-Azhar, Jami’ al-Hakim, Jami’
Rasyidah.[10]
Pada masa-masa
berikutnya, karena lembaga-lembaga pendidikan lainnya berkembang maju pesat
terutama madrasah, maka fungsi masjid sebagai tempat pendidikan di Mesir mulai kelihatan
berkurang. Pada masa itu hanya masjid al-Azhar saja yang sempat dikembangkan
menjadi universitas. Sebelum itu masjid ini pernah dijadikan pusat propaganda
politik dan keagamaan oleh Khalifah Fathimiyah.[11]
Pelaksanaan pendidikan di
masjid-masjid tersebut di atas dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu halaqot[12]
dan zawiyat[13].
Setiap halaqot dan zawiyat mempunyai guru-guru yang mengajarkan
pengetahuan-pengetahuan agama kepada murid-murid. Bidang studi yang diajarkan
pada waktu itu adalah al-Qur’an, Fiqih, Tafsir, al-Hadits, dan bahasa Arab.[14]
Murid-murid bebas memilih
halaqot atau zawiyat yang disukai atau guru mana yang dipilih.
Hal ini menunjukkan belum adanya tingkatan pendidikan dan kurikulum tertentu
pada waktu itu.[15]
Murid-murid yang meneruskan pelajaran pada halaqot dan zawiyat
dalam masjid-masjid itu adalah mereka yang telah menyelesaikan studinya pada
kuttab.[16]
Dalam perjalanannya,
Jami’ al-Azhar yang tadinya merupakan lembaga pendidikan Islam yang berbentuk
masjid kemudian berkembang menjadi madrasah, yang memiliki bangunan fisik
tertentu dan bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan
masjid. Bangunan madrasah itu meliputi tiga unit, yaitu: unit madrasah[17], unit asrama[18], dan unit masjid. Sistem
asrama ini masih diteruskan oleh al-Azhar sampai sekarang ini.[19] Bahkan penulis sendiri
yang pernah menyelesaikan studi S1 di al-Azhar jurusan Tafsir pernah tinggal di
asrama tersebut, yang dikenal dengan nama Madinat al-Bu’uts al-Islamiyah,
yang terletak di Madinat al-Nashr.
Sejak dikenal sistem
madrasah, pendidikan Islam di Mesir mulai menjalankan sistem penjenjangan dalam
sistem pendidikannya. Mulai penjenjangan dari tingkat dasar, tingkat menengah,
dan tingkat tinggi.
Pada saat itu hanya ada
dua buah perguruan tinggi yang berfungsi memberikan pendidikan dan pengajaran
pada tingkat tinggi dalam waktu bersamaan, yaitu Universitas al-Azhar dan Dar
al-Hikmat atau Dar al-‘Ilm di Mesir pada abad kesepuluh. Kalau yang pertama
masih berjalan sampai saat ini, sedang yang kedua hanya berjalan sampai
berakhirnya masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah (567/1171) yang kemudian di
tempat itu dibuka Madrasah Syafi’iyyat.[20]
Sebagai lanjutan dari
tingkat menengah, maka kedua lembaga pendidikan tinggi itu menerima alumni halaqot
dan zawiyat yang terdapat di masjid dan alumni madrasah. Dan
kurikulumnya ditambah dalam setiap bidangnya. Maka pengetahuan agama yang
diajarkan di tingkat tinggi itu meliputi; Fiqih, Tafsir, Qiroat, al-Hadits dan
Ilmu Kalam. Sedangkan pengetahuan bahasa meliputi Nahwu, Sharaf, Balaghah,
al-Bayan, dan sastra. Demikian juga pengetahuan umum mencakup Filsafat, Ilmu
Ukur, Falaq, Ilmu Nujum, Kedokteran, Kimia, Ilmu Pasti, Geografi, Musik, dan
Sejarah. Di Universitas al-Azhar ilmu-ilmu pengetahuan agama lebih diminati
oleh para mahasiswanya daripada ilmu-ilmu lain.
Perlu dicatat, bahwa bila
dilihat pada proses pengajaran yang dilaksanakan pada lembaga-lembaga
pendidikan di Mesir saat itu, maka Mesir hanya mempunyai satu macam sistem
pendidikan saja yaitu sistem pendidikan tradisional yang merupakan warisan dari
sistem pendidikan Dinasti Ayyubiyah. Sistem ini berlangsung sampai pertengahan
abad keduapuluh.
Universitas al-Azhar di
Kairo sampai tahun 1942 masih mempunyai sistem pendidikan yang tradisional.[21] Usaha-usaha Muhammad
Abduh di abad kesembilan belas untuk mengadakan pembaharuan di Universitas al-Azhar
terbentur tantangan kaum ulama konservatif yang pada saat itu belum dapat
melihat faidah perubahan-perubahan yang dianjurkannya.[22]
Disamping itu, ada sikap
saling curiga dan salah pengertian antara penguasa dan Universitas al-Azhar,
maka usaha pembaharuan pendidikan kurang berhasil, terutama sejak revolusi Juli
1952. Barulah usaha yang paling menentukan terhadap perkembangan al-Azhar
sampai sekarang adalah usaha pembaharuan pada tahun 1961.[23]
[3]
Wajah al-Azhar Modern
Pada akhir-akhir abad
ke-20, Universitas al-Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem
penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim alumni
terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuan pengiriman ini adalah
untuk mengikuti perkembangan ilmiah di tingkat internasional sekaligus upaya
perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta al-Azhar
yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut, diantaranya
ialah: Syeikh DR. Abdul Halim Mahmud, Syeikh DR. Muhammad al-Bahy, dan banyak
lagi.
Sebelumnya, pada tahun
1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur al-Azhar mulai dari pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi Universitas al-Azhar menjadi tiga
fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, dan Bahasa Arab.
Saat ini al-Azhar telah
mempunyai 41 fakultas, 19 fakultas diantaranya berada di Kairo dan selebihnya
berada diberbagai provinsi Mesir.
F Fakultas-Fakultas
al-Azhar Putera terdiri dari :
1.
Fakultas Ushuluddin; masa kuliah selama empat tahun,
dengan jurusan-jurusan sebagai berikut :
a.
Tafsir dan Ilmu-Ilmu al-Qur’an,
b.
Hadis dan Ilmu Hadis,
c.
Akidah Filsafat
d.
Dakwah dan Peradaban Islam.
2.
Fakultas Syariah; dengan jurusan sebagai berikut :
a.
Program Under Graduate, dengan jurusan; Syariah
Islamiyah (4 tahun), Syariah dan Hukum (5 tahun)
b.
Program Post Graduate, dengan jurusan: 1). Ushul Fiqh,
2). Perbandingan Mazhab, 3). Perbandingan Hukum, 4). Sosial Politik.
3.
Fakultas Dakwah; jurusan-jurusannya baru ada pada Post
Graduate: 1). Perbandingan Agama, 2). Kebudayaan Islam.
4.
Fakultas Studi Islam; dengan jurusan pada post
graduate.
5.
Fakultas Bahasa Arab; dengan jurusan: 1). Bahasa Arab
dan Adab (Umum), 2). Sejarah dan Peradaban, 3). Pers dan Informasi.
6.
Fakultas-Fakultas Umum, terdiri dari :
1). Fakultas Bahasa dan
Terjemah, 2). Fakultas Perdagangan/Ekonomi, 3). Fakultas Tarbiyah, 4). Fakultas
Kedokteran, 5). Fakultas Farmasi, 6). Fakultas Kedokteran Gigi, 7. Fakultas
Tekhnik, 8). Fakultas Ilmu Pasti, 9). Fakultas Pertanian
F Sedangkan Fakultas-Fakultas
al-Azhar Puteri.
1.
Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab, dengan jurusan
sebagai berikut :
a.
Syariah Islamiyah
b.
Ushuluddin
c.
Bahasa Arab.
2.
Fakultas Studi Sosial,
3.
Fakultas Kedokteran,
4.
Fakultas Ilmu Pasti,
5.
Fakultas Perdagangan,
6.
Fakultas Farmasi.
Untuk fakultas-fakultas
agama bagi orang asing (selain Mesir) tidak dipungut biaya kuliah bahkan
diberikan tunjangan beasiswa, sedangkan untuk fakultas umum bagi orang asing
diwajibkan membayar biaya kuliah, kecuali mereka yang mendapatkan beasiswa.
Disamping semua yang
telah disebutkan di atas, al-Azhar juga mempunyai lembaga-lembaga pendidikan
yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Î’dadiyah (setingkat SMP),
Tsanawiyah (setingkat SMA), Sekolah Pendidikan Guru, dan Institut Seni Membaca
dan Menghafal Al Qur’an.
Program Pendidikan
Pada setiap fakultas al-Azhar
terdapat dua program :
a.
Program Under Graduate/S 1, dengan masa kuliah minimal
empat tahun. Lulusan program ini mendapat gelar Lc (Licence). Masa aktif kuliah
dimulai pada bulan September sampai Desember dengan ujian term I pada bulan
Januari. Kemudian dilanjutkan pada pertengahan Februari sampai Mei yang
diakhiri dengan ujian term II pada bulan Juni. Bagi yang belum lulus untuk mata
kuliah al-Qur’an diberi kesempatan mengulang di bulan Agustus. Pada program ini
mahasiswa dituntut untuk :
1.
Lulus pada setiap mata kuliah, apabila tidak lulus
lebih dari dua mata kuliah dianggap tidak naik tingkat dan harus mengulang mata
kuliah yang tertinggal ditahun berikutnya. Kesempatan mengulang selama dua
tahun berturut-turut, kalau masih gagal juga akan diberhentikan (mafsul/DO).
2.
Diwajibkan menghafal al-Qur’an sebanyak 2 juz untuk
setiap tingkat bagi mahasiswa asing non Arab.
b.
Program Post Graduate (Dirasah Ulya), dibagi dalam dua
program :
1.
Program Magister (Master), dengan masa pendidikan
selama dua tahun setelah Lc, ditambah dua tahun penulisan tesis. Untuk meraih
gelar Master dituntut :
ü Hafal al-Qur’an
30 Juz bagi orang Arab dan 8 juz bagi non Arab.
ü Lulus setiap
mata kuliah pada ujian lisan dan tulisan yang diadakan dalam dua gelombang
setiap tahunnya. Jika tidak lulus dalam satu mata kuliah harus mengulang
seluruh mata kuliah pada gelombang selanjutnya, dan diberi kesempatan mengulang
maksimal tiga tahun berturut-turut.
ü Pada masa
penulisan tesis harus mengajukan judul dengan kerangka pembahasan, setelah
diterima kemudian ditentukan pembimbing.
2.
Program Doktor (DR/Ph.D).
ü Program ini
berlaku hanya untuk lulusan Magister, dan diberi waktu untuk penulisan
disertasi minimal dua tahun.
ü Setelah diterima
judul disertasinya, kemudian akan ditentukan pembimbingnya.
[4]
Pandangan
Dengan rentang waktu yang
lama al-Azhar tetap kokoh berdiri sebagai perguruan tinggi Islam dan memberikan
informasi kepada generasi-generasi berikutnya bahwa Islam pernah menjadi kiblat
pengetahuan dunia. Dengan kekuatan al-Azhar dalam mempertahankan lembaganya
maka dalam tulisan ini penulis memberikan pandangan yang dinggap penting untuk
mengatahui lebih jauh perguruan Islam pertama ini. Beberapa pandangan yang
dicoba untuk dijawab diantarannya : pertama, bagaimana al-Azhar mampu bertahan
dalam rentang waktu yang lama? kedua, bagaimana kurikulum yang diterapkan dari
generasi ke generasi? ketiga, apa kekhasan yang dimiliki al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan Islam tertua?. Selain perpindahan ulama-ulama dan pencari
ilmu dari Bahgdad dan Andalus karena keruntuhan dinasti mereka ke Mesir, juga
karena kebijakan dan perhatian kekhalifahan yang sangat kondusif untuk
pengembangan al-Azhar sebagai sebuah perguruan tinggi.
Diantaranya adalah al-Azhar
banyak mendapat wakaf dari para sultan, umara ataupun individu yang tujuannya
adalah untuk membantu dan memelihara kemasyhuran ilmu pengetahuan di al-Azhar dan
untuk kontinuitas al-Azhar sebagai pusat pergerakan ilmu pengetahuan di Mesir khususnya
dan dunia Islam pada umumnya. Harta wakaf al-Azhar hingga saat ini masih
digunakan untuk membayar gaji para dosen dan karyawannya, pemberian beasiswa
kepada para pelajar dan mahasiswa, baik untuk warga negara Mesir sendiri maupun
warga negara asing, selain itu juga digunakan untuk membiayai pembangunan
asrama pelajar dan mahasiswa. Selain dari harta wakaf sumber terpenting dalam
manajemen keuangan al-Azhar adalah adanya pilan tropi yang berupa infaq,
sedekah, zakat, dan amal dari pengelola dan mahasiswa.
Setelah penguasaan dinasti
Ayyuby, faham Syi’ah kemudian dihilangkan dan diganti dengan faham Sunni.
Selain itu fungsi al-Azhar kemudian meluas menjadi perguruan tinggi yang
diminati dan menjadi kiblat ilmu pengetahuan. Menurut Dr. Hasanain Rabi’ bahwa
pada abad ke-9 H (15 M) merupakan masa gemilang bagi al-Azhar. Karena pada saat
itu al-Azhar menduduki tempat tertinggi di antara madrasah-madrasah dan jamiah
yang ada di Kairo pada saat itu. Ketika itu, al-Azhar sebagai induk sekolah dan
sebagai Jamiah Islamiyah terbesar. Dan ulama-ulama muslimin dari berbagai
negara datang dan belajar di Jami’ al-Azhar.
Selain peran pemerintah,
pembaharu-pembaharu yang dihasilkan al-Azhar pun kemudian memberikan andil
cukup besar untuk pengembangan al-Azhar. Syeikh Hasan al-Athar misalnya, beliau
adalah orang pertama yang menyerukan agar al-Azhar dapat lebih mengembangkan
diri seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurutnya al-Azhar harus berani memasukkan atau mengajarkan kuliah Filsafat,
Sastra, Geografi, Sejarah, dan ilmu-ilmu thabi’i yang sebelumnya dilarang di
al-Azhar. Idenya yang lain adalah agar setiap permasalahan yang muncul,
hendaknya merujuk kepada kitab aslinya (sumber primer).
Selanjutnya, kurikulum
yang diterapkan al-Azhar dari generasi ke generasi selalu melakukan perubahan.
Tapi perubahan yang dilakukan tidak lepas dari tradisi yang sudah dikembangkan
di perguruan tersebut. Yang paling mendasar dan menjadi kekuatan sehingga al-Azhar
mampu bertahan adalah misi yang dibawa tidak hanya berpusat pada misi dakwah
sebagai gambaran utama ketika berbicara Islam, tetapi juga membawa misi ilmiyah
yaitu misi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih penting dari itu, al-Azhar adalah
lembaga pendidikan yang sangat kuat memegang dan mempertahankan tradisi dan
sangat sedikit mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum yang diterapkan tetap
menggunakan beberapa kurikulum luar tetapi hanya menggunakan sebagian kecil
saja, sehingga tidak merusak tradisi keilmuan yang sudah dikembangkan
sebelumnya di lembaga tersebut.
Harus diakui, memang
tidak mudah mengadakan reformasi di al-Azhar, seperti dikemukakan Zuhairi
Misrawi dalam buku al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2010).
Ini terlihat jelas saat Syeikh Muhammad Abduh mengusulkan Muqaddimah Ibn
Khaldun untuk dimasukkan menjadi materi dalam kurikulum al-Azhar, ditolak oleh Syeikh
Muhammad al-Anbani, Syeikh Al-Azhar waktu itu.
Ikhtiar untuk memasukkan
materi ilmu-ilmu pengetahuan umum di al-Azhar baru berhasil pada tahun 1895 M.
Kehadiran model perkuliahan yang diklasifikasikan dalam fakultas ‘Ilmi (sains)
dan Adaby (agama) merupakan salah satu petanda univeristas modern. Terlebih
lagi saat membuka tiga Fakultas; Ushuluddin, Syariah dan Bahasa Arab melalui
Undang-undang pada 1930 M semakin meneguhkan keberadaan Perguruan Tinggi yang
modern.
Apalagi pada masa Syeikh
Mahmud Syaltut (1961 M) yang berhasil mengeluarkan Undang-Undang Nomor 103
Tahun 1961 M tentang penetapan Fakultas-fakultas cabang ilmu pengetahuan umum,
seperti Fakultas Kedokteran, Perdagangan, Teknik, Pertanian, dan Farmasi.
Sungguh meyakinkan al-Azhar sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dunia. (Kompas,
28/09)
Selanjutnya, sebagai
lembaga Islam tertua, al-Azhar memiliki ciri khas tersendiri sehingga mampu
bertahan dan tetap berdiri kokoh. Beberapa kekhasan al-Azhar misalnya pada
tradisi keagamaannya, al-Azhar terkenal dengan syeikh-syeikh dan lulusan yang
berkualitas dalam bidang agama. Selain itu, al-Azhar juga termasuk lembaga yang
berhasil mencetak pembela-pembela agama. Sehingga agama Islam tetap kokoh dalam
koridor sesungguhnya. Manajemennya, al-Azhar hingga saat ini masih tetap pada
konsep dasar ketika al-Azhar dijadikan lembaga pendidikan.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan,
setelah melihat bagaimana sejarah dan perkembangan al-Azhar sampai dengan saat
ini, maka dapat disimpulkan antara lain;
[1]
Al-Azhar pada awalnya adalah masjid yang dibangun dan
dijadikan sarana untuk menyebarkan faham Syi’ah Ismailiyah oleh Dinasti
Fatimiyah. Pada perkembangan berikutnya, al-Azhar dirubah total oleh Dinasti
Ayyubiyah yang berfaham Sunni. Setelah pengalihfungsian tersebut al-Azhar terus
mengembangkan dan melahirkan ulama-ulama berkaliber dunia.
[2]
Al-Azhar yang pada awalnya sebagai sebuah masjid
kemudian berevolusi menjadi lembaga pendidikan --yang tradisional kemudian
modern-- dengan berbagai jenjangnya, baik tingkat dasar, menengah bahkan
tingkat tinggi. Bahkan al-Azhar merupakan satu-satunya lembaga pendidikan --yang
berawal dari masjid sampai seperti sekarang ini-- yang bertahan dan tetap eksis
dalam rentang waktu yang lama, dengan segala dinamika dan perkembangannya.
[3]
Kemampuan al-Azhar bertahan dalam rentang waktu yang
cukup lama tidak lepas dari peran pemerintah yang menjadi sokongan dana atas
pengembangan yang dilakukan. Selain itu, lulusan-lulusan al-Azhar banyak memberikan
sumbangan untuk pengembangan al-Azhar menjadi jamiat yang besar.
[4]
Saat ini al-Azhar sudah menjadi kampus Islam tertua
dan terbesar. Karena pengembangan yang terus diperbaharui dan ditingkatkan
menjadikan jamiat al-Azhar sebagai salah satu pilihan terbaik bagi pencari
ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama dan umumnya ilmu-ilmu umum.
Daftar pustaka
1.
Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, Dar al-Kasysyaf, Beirut, Libanon,
1954.
2. Deliar Noer, The Modernist
Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Oxford University Press, New York,
1973.
3. Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. Ketujuh, Bulan Bintang,
Jakarta, 1990.
5.
KBRI bidang P & K, Pendidikan Islam di
Indonesia dan Mesir, buku I, Kairo, tp., 1983.
6. Langgulung, Asas-Asas
Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, Indonesia, Cet. Kedua, 1988.
7. Mukti Ali (Tesis), Pembaharuan
Lembaga Pendidikan di Mesir, Studi Tentang Sekolah-sekolah Modern Muhammad ‘Ali
Pasya, Cv. Perdana Mulya Sarana, 2008.
8. Sahran, Al-Azhar Sebagai Madrasah Tinggi Islam Pertama dan
Tertua, Cakrawala Iqro, Minggu, 26
Desember 2010.
9. Syeikh Khalil al-Haurany, Shofahat
min Tarikh al-Azhar al-Syarif, Ta’sisan wa ‘Ilman wa Muqowamatan lil Ajnaby,
http://www.alazhar.gov.eg
[1] http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm.
[2] Syeikh Khalil
al-Haurany, Shofahat min Tarikh al-Azhar al-Syarif, Ta’sisan wa ‘Ilman wa
Muqowamatan lil Ajnaby, http://www.alazhar.gov.eg.
Lihat juga http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm,
Asholah wa Hadatsah Jami’ wa Jamiatan
[3] Ahmad Syalabi, History
of Muslim Education, Dar al-Kasysyaf, Beirut, Libanon, 1954, hal 49 dalam
tesis Mukti Ali, Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir, Studi Tentang
Sekolah-sekolah Modern Muhammad ‘Ali Pasya, Cv. Perdana Mulya Sarana, 2008,
hal 55
[4] Sahran, Al-Azhar
Sebagai Madrasah Tinggi Islam Pertama dan Tertua, Cakrawala Iqro, Minggu,
26 Desember 2010
[5] Sahran, Ibid.
[6] Syeikh Khalil al-Haurany, Opcit., Lihat
juga http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm,
Asholah wa Hadatsah Jami’ wa Jamiatan
[7] Syeikh Khalil al-Haurany, Opcit.
Lihat juga http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm,
Asholah wa Hadatsah Jami’ wa Jamiatan
[8] Kuttab adalah lembaga
pendidikan yang sudah dikenal sebelum Islam dan tersebar di tanah Arab, yang
berfungsi sebagai tempat belajar menulis dan membaca. Setelah Islam datang,
tradisi belajar di Kuttab masih berjalan. Lihat Syalabi, History, hal 18
[9] Syalabi, History,
hal 48
[10] Syalabi, History,
hal 49
[11] Mukti Ali, Opcit,
hal 56
[12] Istilah halaqot
berarti bulatan di mana murid-murid mengelilingi guru atau syeikh tertentu
untuk mempelajari ilmu tertentu. Sistem ini masih berjalan di al-Azhar sampai
sekitar tahun 1950-an. Sesudah tahun 1960 sistem ini sudah tidak ada lagi,
sebab segalanya sudah berjalan menurut sistem Universitas Barat. Lihat
Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, Indonesia,
Cet. Kedua, 1988, hal. 135 dalam Mukti Ali, Opcit, hal 56
[13] Istilah zawiyat
berarti pojok yang dijadikan tempat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dalam
masjid. Lihat Syalabi, History, hal 52
[14] Mukti Ali, Opcit,
hal 56
[15] Langgulung, Opcit,
hal 113
[16] Ibid., hal 12
[17] Unit madrasah ini terdiri
dari beberapa ruangan belajar, yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas
belajar seperti bangku, meja murid, kursi, dan meja guru.
[18] Unit asrama dijadikan
tempat tinggal murid-murid, guru-guru, dan para pegawai madrasah.
[19] KBRI bidang P & K, Pendidikan
Islam di Indonesia dan Mesir, buku I, Kairo, tp., 1983 hal 38 dalam Mukti
Ali, Opcit., hal 62
[20] Mukti Ali, Opcit.,
hal 68
[21] Lihat Deliar Noer, The
Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Oxford University Press,
New York, 1973, hal 306 dalam Mukti Ali, Opcit., hal 49
[22] Lihat Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. Ketujuh, Bulan Bintang,
Jakarta, 1990, hal 67 dalam Mukti Ali, Opcit., hal 49
[23] Lihat KBRI bidang P &
K, Opcit., hal 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar