Jumat, 14 Desember 2012

AL HADITS, FUNGSI DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM


AL H A D I T S
FUNGSI DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM



PENDAHULUAN
Hadits merupakan salah satu sumber hukum di dalam Islam. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh banyak sumber baik dari Al-Qur'an, al-Hadits  atau bahkan ijma ulama mengenai hal tersebut. Namun meskipun demikian ada sebagian kalangan yang berusaha meragukan al-Hadits  dan mengurangi perannya dalam hukum Islam, atau memberikan beban kepadanya dengan beban yang berlebihan, bahkan sebagian dari mereka menganggap hanya cukup dengan berpegang pada Al-Qur'an saja. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyumbangkan pemikiran yang sederhana mengenai al-Hadits, Fungsi dan Kedudukannya dalam Islam, sehingga kita memiliki pandangan yang cukup dan mendasar mengenai hal tersebut.
PEMBAHASAN
Pengertian
Banyak Ulama yang telah mendefinisikan al-Hadits dengan berbagai definisi, namun semua definisi tersebut bermuara pada makna bahwa al-Hadits  adalah "Segala sesuatu yang dinisbahkan ataupun disandarkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Pengertian semacam itu sama seperti halnya mendefinikan al-Sunnah.
Sedangkan ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian al-Hadits hanya sebatas pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai al-Sunnah.
Pengertian al-Hadits seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah Swt. yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran. Namun penulis di sini tidak ingin memfokuskan tulisan kepada al-Hadits dari segi pengertian, baik kaitannya dengan al-Sunnah, al-Atsar, ataupun al-Hadits al-Qudsi. Akan tetapi lebih memfokuskan kepada fungsi dan kedudukan al-Hadits dalam Islam, maupun posisinya terhadap al-Qur'an al-Karim. Sekaligus juga secara ringkas menyikapi pemahaman sebagian orang yang hanya bersandarkan kepada al-Qur'an saja dan mengingkari al-Hadits sebagai sumber hukum Islam.
Derajat dan Kedudukan Hadits dalam Islam.
Berdasarkan berbagai sumber kita akan dapati bahwa sumber-sumber perundang-undangan dalam Islam adalah al-Qur'an dan al-Hadits. Namun meskipun keduanya merupakan sumber pokok dalam Islam, haruslah dijelaskan bahwa kedudukan al-Qur'an itu adalah dasar yang pertama dan utama, sedangkan kedudukan al-Hadits adalah dasar hukum yang kedua setelah al-Qur'an. Hal itu berdasarkan kepada;
1.      Al-Qur'an adalah kitab Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lafal dan maknanya, yang kita (umat Islam) terima dengan jalan yang qath'i[1]. Dia didengar dan dihafal oleh banyak sahabat, dan mereka (para juru tulis wahyu) menulisnya atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
2.      Al-Qur'an adalah asal (pokok) dan pangkal dari al-Hadits.
Dengan demikian semua yang diuraikan al-Hadits sesungguhnya adalah berasal dari al-Qur'an, dalam artian al-Hadits tidak berdiri sendiri melainkan pokok-pokoknya sudah terdapat dalam al-Qur'an.
Menurut Syatibi[2] kedudukan al-Hadits di bawah al-Qur'an berdasarkan alasan-alasan berikut;
1.      Al-Qur'an diterima dengan jalan yang qoth'i, sedangkan al-Hadits diterima dengan jalan dzonny. Keyakinan kita kepada al-Hadits hanya secara global saja, bukan secara mendetail. Sedangkan al-Qur'an global maupun detailnya diterima dan sampai kepada kita dengan jalan meyakinkan.
2.      Al-Hadits adakalanya menerangkan (mem-bayankan) sesuatu yang di-ijmalkan atau yang diringkaskan uraiannya oleh al-Qur'an, adakalanya men-syarahkan al-Qur'an, dan adakalanya mendatangkan hukum yang belum didatangkan al-Qur'an.
Maka jika al-Hadits itu bersifat penerangan (bayan), atau syarh, tentulah statusnya tidak sama dengan derajat al-Qur'an yang diterangkan.
3.      Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu'adz pergi ke Yaman, beliau bertanya kepada Mu'adz; ( ِبمَا تَحْكُمُ ؟ ) dengan apa engkau memutuskan hukum, Mu'adz menjawab ( بِكِتَابِ اللهِ ), kemudian Nabi bertanya ( فَإِنْ لَمْ تَجِدْ ؟ ), Muadz menjawab ( بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ), kemudian Nabi bertanya lagi ( فَإِنْ لَمْ تَجِدْ ؟ ), maka Mu'adz pun menjawab ( أَجْتَهِدُ رَأْيِي )
Hadits tentang pengutusan Mua'dz ke Yaman, yang di dalamnya terdapat dialog antara Mu'adz dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita tentang kedudukan al-Qur'an maupun al-Hadits dalam penetapan hukum Islam. Dan jawaban Mu'adz tersebut mendapatkan persetujuan dan dukungan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan bila kita merujuk kepada al-Qur'an, al-Hadits, atau Ijma' para Ulama, maka kitapun akan mendapati kedudukan al-Hadits yang terletak setelah Al-Qur'an. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang menempatkan perintah menaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datangnya setelah perintah menaati Allah.[3] Ataupun perintah khusus untuk mengambil apa-apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan dan apa-apa yang Rasulullah larang.[4]
Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ketaatan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan mutlak, sebagaimana juga ketaatan kepada Allah Swt. Demikian juga dengan peringatan atau ancaman bagi yang durhaka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti juga durhaka kepada Allah Swt.
Disamping itu banyak keterangan dari al-Hadits yang menjelaskan tentang kewajiban kita menaati Rasulullah dan mengambil hukum darinya. Seperti Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan;
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّواْ أَبَدًا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا فَهُوَ كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Telah aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka, yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Al-Qur'an dan al-Sunnah (al-Hadits).

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتيِ وَ سُنَّةَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي
Kalian wajib mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin setelahku.
Fungsi Hadits dan Posisinya Terhadap Al-Qur'an
Untuk memahami urgensi al-Hadits dalam memahami Al-Qur'an, maka kita perlu merujuk kepada ayat-ayat al-Qur'an itu sendiri yang menjelaskan bahwa memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wewenang khusus dari Allah Swt. untuk menjelaskan al-Qur'an, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan, yang kita sebagai umatnya wajib menaatinya.
Allah berfirman;
...3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
44. ... dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[5] dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. al Nahl {16} : 44)

Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman;
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sãƒ
64. Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. Al Nahl {16} : 64)

            Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa memang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan mandat untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat Al-Quran. Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan al-Quran[6]. Penjelasan beliau dapat dipastikan kebenarannya. Tidak seorang muslimpun yang dapat menggantikan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penjelasan manusia lain, apa pun kedudukannya.
Penjelasan-penjelasan atas arti dan maksud ayat Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermacam-macam bentuknya. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain).[7] Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberi oleh Allah SWT.--melalui Al-Quran-- hak dan wewenang tersebut. Segala ketetapannya harus diikuti. Tingkah lakunya merupakan panutan terbaik bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat.[8]
Disamping itu banyak kita temukan ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk menaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah untuk taat (athi'u) tersebut telah disebut dalam al-Quran sebanyak sembilan belas kali.[9] Terkadang, perintah tersebut digabungkan antara taat kepada Allah dengan sekaligus, kepada Rasul: Athi'u Allah wa al-rasul (QS 3:32, 132; 8:1, 46; dan sebagainya). Tetapi juga, terkadang antara keduanya dipisah dengan kata "athi'u": Athi 'u Allah wa athi'u al-rasul (QS 4:59; 24:54; 4:23; dan sebagainya).
Allah Berfirman;
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# š^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Q.S. Ali Imron {3} : 32)

Atau dalam dalam ayat yang lain Allah Swt.juga berfirman;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (  ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (Q.S. al Nisaa {4} : 59)

Penggabungan dan pemisahan di atas bukanlah tidak mempunyai arti; ia mengisyaratkan bahwa perintah-perintah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, harus diikuti, baik yang bersumber langsung dari Allah (al-Quran) --sebagaimana ayat yang menggambarkan ketaatan kepada Allah dan Rasul di atas-- maupun perintah-perintahnya berupa kebijaksanaan --seperti ayat-ayat kelompok kedua di atas.
Itulah sebabnya mengapa al-Quran menegaskan bahwa hendaknya dilaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan apa yang dilarangnya.[10] Dan bahwa barangsiapa taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada Allah,[11] sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiada lain adalah seorang Rasul (QS 3:144).[12]
Al-Quran juga mengancam orang-orang yang menentang perintahnya (QS 24:62). Bahkan, ia menyatakan bahwa mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya (QS 4:65).
Dari beberapa ayat di atas, jelaslah bahwa mereka yang menduga bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempunyai wewenang sedikitpun dalam urusan agama, adalah keliru. Ayat ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ )[13] yang diterjemahkan oleh sementara orang dengan tidak ada wewenang bagimu tentang urusan (agama) sedikit pun. Ini tidaklah benar, karena yang dimaksud dengan "urusan" dalam ayat ini adalah urusan diterima atau ditolaknya tobat orang-orang tertentu, sebagaimana bunyi lanjutan ayat tersebut.[14]
Untuk lebih jelas, penulis akan gambarkan dalam bentuk pointer tentang kedudukan al-Hadits  terhadap Al-Qur'an, sebagai berikut;
1)     Al-Hadits berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an.
Fungsi ini sering disebut dengan bayan at-taqrir atau disebut juga dengan bayan at-ta'kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan al-taqrir ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur'an. Sehingga fungsi al-Hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur'an, seperti ayat al-Qur'an surah al-Maidah ayat 6 tentang wudlu atau surah al-Baqoroh ayat 185 tentang melihat bulan di-taqrir dengan Hadits-hadits diantaranya yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Untuk jelasknya dapat dilihat berikut ini.
Allah berfirman dalam al-Qur'an surah al-Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudlu sebelum melakukan shalat, yang berbunyi;
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 ... ÇÏÈ 
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ...

Ayat di atas di-taqrir oleh Hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi;
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتىَّ يَتَوَضَّأَ (رواه البخاري)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak diterima shalat seorang hamba yang berhadats sebelum ia berwudlu.[15]

Contoh lain, ayat al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 185 tentang melihat bulan, yang berbunyi
... `yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( ...
"… Karena itu, barangsiapa yang pada saat itu melihat bulan, hendaklah ia berpuasa…"
Ayat di atas di-taqrir oleh al-Hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi sebagai berikut;
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَافْطِرُوْا (رواه مسلم)
"… Apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, begitu pul apabila melihat (ru'yah) bulan itu maka berbukalah" (H.R. Muslim)[16]

Dan banyak lagi contoh-contoh yang lainnya, yang menjelaskan fungsi al-Hadits dalam memperkuat apa yang terdapat dalam al-Qur'an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur’an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2)     Al-Hadits berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci apa-apa yang terdapat dalam al-Qur'an.
Fungsi ini sering juga disebut dengan Bayan at-Tafsir, yaitu penjelasan al-Hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq, dan Am. Maka fungsi al-Hadits dalam hal ini, memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang masih mujmal (global), memberikan taqyid (batasan) terhadap ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshish (pengkhususan) terhadap ayat-ayat yang masih umum.
[a]  Contoh al-Hadits yang merinci ayat-ayat al-Qur'an
Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat mujmal, yang memerlukan perincian. Sebagai contoh adalah ayat-ayat tentang perintah shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Ayat-ayat itu masih bersifat global, atau meskipun diantaranya sudah ada perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal ini karena, dalam ayat-ayat tersebut tidak dijelaskan misalnya, bagaimana cara mengerjakannya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya dan lain sebagainya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya secara terperinci. Diantara contoh perincian itu adalah al-Hadits yang berbunyi;
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنىِ أُصَلِّى
      "Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat."[17]
Al-Hadits tersebut menjelaskan firman Allah dalam al-Qur'an yang memerintahkan shalat, sebagaimana ayat 43 dari surah al-Baqarah, yang berbunyi;
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
43. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'

Dengan demikian, maka al-Hadits di atas menjelaskan bagaimana seharusnya shalat dilakukan, sebagai perincian dari perintah shalat dalam ayat tersebut.
[b]  Contoh al-Hadits yang men-taqyid ayat-ayat yang muthlaq
Kata Muthlaq artinya Kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya.[18] Maka fungsi al-Hadits yang men-taqyid ayat-ayat yang muthlaq ini berarti membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Contoh dari bagian ini adalah firman Allah dalam al-Qur'an surah al-Maa'idah ayat 38 yang berbunyi:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& L... ÇÌÑÈ
38. Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya ... (Al-Maa’idah {5} : 38]

Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas pencurian yang dipotong tangannya ataupun batas tangan yang akan dipotong. Maka, dari al-Haditslah didapat penjelasannya, bahwa batas pencurian yang dipotong tangannya adalah pencurian yang senilai seperempat dinar atau lebih sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقُ إِلاَّ فيِ رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا (رواه مسلم)
"Tangan pencuri tidak dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat atau lebih." (H.R. Muttafaq 'alaih, Hadits ini menurut lafadz Muslim)

Ataupun Hadits lain yang menjelaskan tentang batasan potong tangan yaitu sampai pergelangan tangan.[19] Dan banyak lagi ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat muthlaq yang perlu di-taqyid oleh al-Hadits.
[c]   Contoh al-Hadits yang men-takakhshis ayat-ayat yang am.
Kata am ialah kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhshish atau khash ialah kata yang menunjuk arti khusus, tertentu atau tunggal.[20] Maka yang dimaksud dengan men-takhshish ayat yang am adalah membatasi keumuman ayat al-Qur'an, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Contoh pada bagian ini adalah firmah Allah dalam al-Qur'an surah al-Nisaa ayat 11 yang berbunyi;
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ... ÇÊÊÈ  
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan … (al-Nisaa {4} : 11) [21]

Ayat tersebut masih bersifat umum, mencakup seluruh anak laki-laki maupun anak perempuan tanpa melihat perbedaan agama orang tua dan anak ataupun hal-hal yang lainnya. Keumuman ayat ini kemudian di-takhshish oleh Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْئًا (رواه أحمد)
"Pembunuh tidak berhak menerima hari warisan (dari orang yang dibunuh). (H.R. Ahmad)[22]
3)     Terkadang al-Hadits menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.
Fungsi ini sering juga disebut dengan Bayan Tasyri. Kata tasyri artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum,[23] atau disebut juga dengan bayan za'id 'ala al-Kitab al-Karim (tambahan terhadap nash al-Qur'an). Disebut tambahan di sini, karena sebenarnya di dalam al-Qur'an sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya sudah ada, sehingga datangnya Hadits tersebut merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok itu. Maka yang dimaksud dengan bayan tasyri di sini adalah penjelasan al-Hadits yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan-aturan syara' yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur'an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini berupaya menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.
Banyak Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termasuk ke dalam kelompok ini. Diantaranya, Hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum merajam wanita yang masih perawan, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.[24] Suatu contoh, dapat dikemukakan di sini Hadits tentang zakat fitrah, yang berbunyi sebagai berikut;
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمَرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ (رواه مسلم)
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadlan satu sukat (sha') kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.[25]

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termasuk bayan tasyri ini wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan Hadits-hadits lainnya. Ibnu Qoyyim berkata, bahwa Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa tambahan terhadap al-Qur'an merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak apalagi mengingkarinya, dan bukanlah sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut mendahului al-Qur'an melainkan semata-mata melaksanakan perintah-Nya.[26]
Ketiga bayan yang telah diuraikan di atas, menurut Utang Ranuwijaya kelihatannya disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit dipersoalkan. Sedangkan untuk bayan lainnya, seperti bayan al-Naskh, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi al-Hadits sebagai nasikh dan ada yang menolaknya. Yang menerima adanya naskh diantaranya adalah jumhur ulama mutakallimin, baik Mu'tazilah maupun Asy'ariyah, ulama Malikiyah, Hanafiah, Ibn Hazm, dan sebagian Dzahiriah. Sedang yang menolaknya, diantaranya adalah al-Syafi'i dan mayoritas ulama pengikutnya, serta mayoritas ulama Dzohiriah.
4.      Bayan Naskh
Diantara para ulama, baik muta'akhkhirin maupun mutaqaddimin teradapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan al Naskh ini. Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti naskh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqoddimin bahwa yang dimaksud bayan al naskh  adalah dalil syara' yang datangnya kemudian.[27]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Maka al-Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur'an dalam hal ini dapat menghapus ketetuan atau isi kandungan al-Qur'an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan al Naskh.[28]
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh al-Hadits  terhadap al-Qur'an juga berbeda pendapat dalam macam al-Hadits yang dapat dipakai untuk me-naskh-nya. Ada yang menggunakan semua al-Hadits (termasuk Ahad), ada yang mensyaratkan harus Mutawatir, ada juga yang membolehkan me-naskh dengan Hadits Masyhur, tanpa harus dengan Mutawatir.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama, ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه أحمد و الاربعة إلا النسائى)
"Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris." (H.R. Ahmad dan al-Arba'ah kecuali al-Nasa'i. Hadits ini dinilai Hasan oleh Ahmad dan al-Turmudzi)[29]

Kesesatan Orang yang Tidak Membutuhkan al-Hadits
Sementara orang ada yang meragukan otentisitas penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan bagian dari al-Hadits. Hal ini disebabkan, antara lain, karena mereka menduga bahwa Hadits-Hadits baru ditulis pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Dugaan yang sangat keliru ini timbul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan al-Hadits yang, secara resmi, diperintahkan langsung oleh penguasa untuk disebarluaskan ke seluruh pelosok, dengan penulisan al-Hadits yang dilakukan atas prakarsa perorangan yang telah dimulai sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Penulisan bentuk kedua ini sedemikian banyaknya, sehingga banyak pula dikenal naskah-naskah Hadits, antara lain:
1.      Al-Shahifah Al-Shahihah (Shahifah Humam), yang berisikan Hadits-Hadits Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya, Humam bin Munabbih. Naskah ini telah ditemukan oleh Prof. Dr. Hamidullah dalam bentuk manuskrip, masing-masing di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syria).
2.      Al-Shahifah Al-Shadziqah, yang ditulis langsung oleh sahabat 'Abdullah bin Amir bin 'Ash --seorang sahabat yang, oleh Abu Hurairah, dinilai banyak mengetahui Hadits-- dan sahabat yang mendapat izin langsung untuk menulis apa saja yang didengar dari Rasul, baik di saat Nabi ridha maupun marah.
3.      Shahifah Sumarah Ibn Jundub, yang beredar di kalangan ulama yang --oleh Ibn Sirin-- dinilai banyak mengandung ilmu pengetahuan.
4.      Shafifah Jabir bin 'Abdullah, seorang sahabat yang, antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji dan khutbah Rasul yang disampaikan pada Haji Wada', dan lain-lain.[30]
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa Hadits-Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah ditulis atas prakarsa para sahabat dan tabi'in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi diperintahkan oleh 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.
Selanjutnya, ada pula yang meragukan penulisan al-Hadits (pada masa Rasul) yang disebabkan kekeliruan mereka dalam memahami riwayat (yang terdapat dalam kitab-kitab Hadits) yang menyatakan bahwa para ulama menghapal sekian ratus ribu Hadits. Mereka menduga bahwa jumlah yang ratusan ribu itu adalah jumlah matan (teks redaksi al-Hadits), sehingga --dengan demikian-- mereka menganggap mustahil penulisannya secara keseluruhan sejak awal sejarah Islam. Mereka tidak menyadari bahwa jumlah al-Hadits, yang dinyatakan ratusan ribu tersebut, bukanlah matan-nya, tetapi jalur-jalur (thuruq) al-Hadits. Karena satu matan al-Hadits dapat memiliki puluhan jalur.[31]
Ada pula yang menduga bahwa Hadits-Hadits Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab al-Hadits telah dinukilkan oleh para pengarangnya melalui "penghapal-penghapal-Hadits", yang hanya mampu menghapal tetapi tidak memiliki kemampuan ilmiah. Dugaan ini timbul karena kedangkalan pengetahuan mereka tentang ilmu Hadits. Jika mereka mengetahui dan menyadari syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghapal Hadits (antara lain, seperti tepercaya, kuat ingatan, identitasnya dikenal sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang ilmiah, dan sebagainya), maka mereka pasti menolak Hadits-Hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dinilai majhul al-hal aw al-'ayn (tidak dikenal kemampuan ilmiahnya atau juga identitas pribadinya).
Ada pula yang menduga bahwa para ahli Hadits hanya sekadar melakukan kritik sanad (kritik ekstern), bukan kritik matan (kritik intern). Dugaan ini juga keliru, karena dua dari lima syarat penilaian Hadits shahih (yaitu tidak syadz dan tidak mengandung 'illah) justru menyangkut teks (matan) Hadits-Hadits tersebut. Sedang tiga syarat lainnya, walaupun sepintas lalu berkaitan dengan sanad al-Hadits, bertujuan untuk memberikan keyakinan akan kebenaran Hadits-Hadits tersebut.
PENUTUP
Akhirnya, dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa di satu pihak, kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah perkembangan al-Hadits timbul akibat dangkalnya pengetahuan (agama). Dan di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan agama yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (khususnya para orientalis yang tidak bertanggung jawab) yang mengatasnamakan penelitian ilmiah untuk tujuan-tujuan tertentu.
Sesungguhnya, kalau kita menela'ah dengan seksama pemaparan di atas, maka sebagai seorang Muslim tidak perlu lagi bertanya tentang kedudukan al-Hadits  baik yang berupa ucapan, tingkah laku ataupun ketetapan dalam Islam, apalagi sampai mengingkarinya. Karena semua itu sudah sangat jelas terdapat dalam al-Qur'an, al-Hadits maupun ijma Ulama mengenai hal tersebut, yang kesemuanya itu tidak perlu ditafsirkan yang lebih jauh lagi. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang-orang yang hanya bersandarkan kepada al-Qur'an sesungguhnya mengingkari al-Qur'an itu sendiri.










Daftar Pustaka
1.      Abbas Mutawali Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuh fi al-Tasyri', Dar al-Qaumiyah, Kairo

2.      Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Maktabah al-Islamy, Beirut.

3.      Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa'ad bin Nubhan wa Auladuh.

4.      Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim Syarah Nawawi, Mathba'ah al-Mishriyah, Kairo, 1349 H.

5.      Al-Qur'an dan terjemahan

6.      Ibn Hajar al-Asqolani, Bulugh al Marom, Dar al-Fikr, Beirut, 1989 M/1409 H.

7.      Ibnu al-Qoyim al-Jauziyah, A'lam a-Muwaqqi'in, Jilid II, Mathba'ah al-Sa'adah, Mesir, 1955

8.      M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta 1954

9.      Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah qabla Al-Tadwin Wahdah, Kairo, 1963

10.  Muhammad Idris al-Syafi'I, al-Risalah, al-Halaby, Kairo, 1969

11.  Musthafa al-Siba'i, al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami, Dar al-Qaumiyah, Kairo, 1949

12.  Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Mizan cet. 13, Bandung, 1996

13.  Subhi Al-Shalih, 'Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut, Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, 1977

14.  Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, cet. 1

15.  Yazid Abdul Qodir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Pustaka At-Taqwa, Bogor, 2005. cet. 2





[1] Jalan yang diyakinkan bahwa yang diterima itu memang benar-benar demikian.
[2] Al Muwafaqat 4 : 7-8
[3] Lihat Al-Qur'an surah Ali Imran {3} : 32, kemudian lihat juga surah al Nisaa {4} ayat 59
[4] Lihat Al-Qur'an surah al Hasyr ayat 7
[5] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[6]  Lihat Al-Qur'an surah al Nisaa {4} ayat 105
[7] Lihat lebih lanjut Muhammad Idris Al-Syafi'iy, Al-Risalah, (Kairo; Al-Halabiy, 1969), h. 18, dan seterusnya; Al-Baghdadi, Al-'Uddah fi Ushul Al-Din, Jilid I, (Mesir; Al-Risalah, 1980), h. 112-13.
[8] Lihat alAhzab {33} ayat 21
[9] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, cet. 13, (Bandung; Mizan, 1996)
[10] Lihat Al-Qur'an surah al Hasyr {59} ayat 7.
[11] Lihat Al-Qur'an surah al Nisaa {4} ayat 80.
[12] Lihat Al-Qur'an surah Ali Imron {3} ayat 144.
[13] Q.S. Ali Imron {3} : 128
[14] Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai asbab al-nuzul ayat tersebut. Lihat Al-Bukhari, Al-Syaib, Jilid V, (Kairo, tt.), h. 247.
[15] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, jilid 2, (Mesir; Syirkah maktabah Ahmad bin Sa'ad bin Nubhan wa Auladuh, tt.), h. 271
[16] Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Mulim Syarah Nawawi, Juz II, (Kairo, Mathba'ah al-Mishriyah, 1349), h. 705
[17] Al-Bukhari, op.cit., hlm. 124-126.
[18] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits,(Jakarta; Gaya Media Pratama, 1996), cet. I
[19] Subulus Salam (IV/151-152).
[20] Utang Ranuwijaya, op.cit. hal. 32
[21] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[22] Abu Abdillah Ahmad Bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz II, (Beirut; al-Maktabah al-Islamy, tt.) h. 883
[23] Utang Ranuwijaya, op.cit., hlm. 33
[24] Musthafa as-Siba'i, al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami, (Cairo; Dar al-Qaumiyah, 1949), h. 346.
[25] Muslim, Jilid I, op.cit., h. 434
[26] Ibnu al-Qoyim al-Jauziyah, A'lam a-Muwaqqi'in, Jilid II, (Mesir; Mathba'ah al-Sa'adah, 1955), h. 289
[27] Abbas Mutawali Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuh fi al-Tasyri', (Kairo; Dar al-Qaumiyah), h. 169
[28] Musthafa al-Siba'I, op.cit. h. 360
[29] Ibn Hajar al-Asqolani, Bulugh al Marom, (Beirut; Dar al-Fikr, 1989 M/1409 H.), h. 202
[30] Lihat lebih lanjut Subhi Al-Shalih, 'Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, cet. IX (Beirut; Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, 1977), h. 23, dan seterusnya; Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah qabla Al-Tadwin Wahdah, cet. I, (Kairo; 1963), h. 346.
[31] Apabila dihimpun seluruh matan Hadits dari seluruh kitab-kitab Hadits yang mu'tabar, maka jumlahnya tidak lebih dari 50.000 matan Hadits, termasuk di dalamnya Hadits-Hadits shahih, hasan dan dhaif. Dalam hal ini, ahli Hadits, Al-Hakim, dinilai berlebihan ketika menyatakan bahwa jumlah Hadits shahih tidak lebih dari 10.000 Hadits. Lihat 'Abdul Halim Mahmud, Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha, (Kairo; Al-Maktabah Al-Tsaqafiyah, 1967), h. 59. Walaupun demikian, harus diakui bahwa sebagian besar Hadits Nabi direkam bukan dalam bentuk tulisan, tetapi hapalan.

2 komentar:

  1. Mens Wedding Bars Titanium Dining Book - iTanium-Arts
    Buy a Mens Wedding Bars Titanium Dining Book babyliss pro titanium online from the ford edge titanium 2021 official website titanium trim hair cutter iTanium-Arts.com. It is titanium easy flux 125 amp welder an attractive decoration.Material: titanium dioxide in food Stainless Steel; SteelItem Weight: 1.39 poundsDimensions: 9 x 9 x 0.75 x 0.75 inches

    BalasHapus